REPUBLIKA.CO.ID, QIEMO -- Beijing menerapkan kebijakan asimilasi antar etnis melalui pernikahan. Kebijakan ini disinyalir merupakan akal-akalan Beijing meredam konflik di wilayah non-etnis Han, seperti Uighur dan Tibet.
Peneliti University of Griffith, Michael Clarke mengatakan kebijakan itu pada dasarnya untuk menangani masalah politik, ekonomi dan sosial. Ini bisa dilihat dari pemberian insentif untuk pasangan antaretnis yang memutuskan menikah.
Pemberian insentif ini baru pertama kali dilakukan pada Agustus lalu di Qiemo County, daerah otonomi Bayinguoleng. Menurut kebijakan itu, pasangan non etnis Han yang menikah dengan etnis Han akan mendapat uang tunai 10.000 yuan yang dibayarkan per tahun selama lima tahun. Itu belum termasuk, perumahan, kesehatan, subsidi pendidikan.
"Kita memiliki kelompok etnis berbeda tapi kami memiliki langit yang sama, tanah subur yang sama dan cinta yang sama," kata Yasen Nasi'er, Wakil Sekretaris Komite Partai Komunitas di Qiongkule, seperti dilansir onislam.net, Rabu (3/9). Ia percaya, perkawinan antar etnis ini akan memperkuat kebersamaan masyarakat Cina.
Direktur Human Right Wacth, Sophie Richardson, mengatakan kebijakan itu menjadi upaya yang lebih besar ketimbang asimilasi. "Tampaknya realitas yang tidak benar, membangun pernikahan untuk loyalitas politik," kata dia.
Pernikahan antaretnis di wilayah ini tumbuh dari sekitar 700 pada tahun 2008 menjadi lebih dari 4.700 tahun lalu, menurut laporan oleh kantor penelitian dari Partai Komunis di Tibet.
"Ini tentu mengejutkan saya," tambah Richardson.