Kamis 30 Jun 2016 11:30 WIB

Terusir oleh Taliban, Pemegang Sabuk Hitam Ini Latih Karate Pengungsi di Cisarua

Red:
abc news
Foto: abc news
abc news

Di kota perbukitan padat di pinggiran Jakarta, Meena Asadi, seorang juara karate yang terusir oleh Taliban, membantu pengungsi anak-anak bertarung melawan kebosanan akibat nasib mereka yang tak menentu.

"Ichi, ni, san," teriak Meena, menghitung pukulan dalam Bahasa Jepang di kelas yang berisi anak-anak yang bisa Bahasa Farsi, Pastho, dan Inggris - namun tak bisa Bahasa Indonesia.

Postur Meena lebih kecil dibandingkan kebanyakan murid-muridnya, namun instruksi tegas yang dia sampaikan memiliki kewibawaan yang setara dengan tendangan putarnya.

"Sebagian murid-murid ini mengalami stress," kata Meena, pengelola Cisarua Refugee Shotokan Karate Club.

"Ketika berolahraga mereka kemudian lebih rileks, makanya karate sangat bagus buat kami," ujar wanita asal Afghanistan berusia 24 tahun ini kepada ABC.

Kebijakan pengawasan perbatasan Australia yang menerapkan "pengusiran perahu" telah berkontribusi pada meningkatnya jumlah pencari suaka yang menunggu di Indonesia untuk mendapatkan penempatan yang disponsori PBB. Jumlah mereka kini sekitar 13.700 orang.

Setidaknya mereka perlu waktu tiga tahun menunggu hanya untuk mengetahui apakah mereka akan diterima di negara seperti Amerika Serikat, Kanada, atau Jerman. Namun kebanyakan di antara mereka tak pernah diterima.

A young boy practices his moves at the Cisarua Refugee Shotokan Karate Club Seorang pengungsi anak-anak berlatih karate di Cisarua Refugee Shotokan Karate Club.

Hal ini merupakan masa penantian berat bagi mereka, dimana orangtua tak bisa bekerja dan anak-anaknya tidak diizinkan masuk ke sekolah Indonesia.

Akibatnya, anak-anak pengungsi ini sulit menemukan teman anak-anak setempat sebab mereka tidak tahu berbahasa Indonesia.

"Saat pertama tiba di sini sangat membosankan, tak ada tempat untuk belajar," ujar Arezoo Nadri (12 tahun) yang kini ikut kelas karate.

"Klub karate ini dibentuk dan saya merasa sangat senang. Teman-teman saya ada di sini, guru-gurunya sangat baik. Saya merasa senang," katanya.

Murid-murid di Cisarua berlatih tiga kali dalam seminggu di lapangan bertembok di belakang jejeran pertokoan.

Latihan yang memerlukan kesiapan fisik ini sedikit dikurangi selama Ramadan, sebab kebanyakan murid-muridnya berpuasa. Namun hari ini, tak perduli lapar, para murid unjuk kebolehan dengan penuh semangat di depan kamera ABC.

Mereka melakukan lompat katak satu sama lain, berlari beberapa putaran, serta berlatih satu lawan satu.

Ekstrimis menrcerca kelas bersama pria wanita

Meena Asadi sebagai pemegang sabuk hitam pernah mewakili baik Afghanistan maupun Pakistan dalam berbagai pertandingan.

Dia mengelola sekolah karate di Ghazni untuk anak pria dan wanita. Menurut dia kelompok ekstrimis setempat keberatan dengan hal itu.

"Banyak masalah. Mereka tidak percaya kami harus memiliki klub. Mereka bilang anak wanita tidak boleh masuk klub, mereka cukup di rumah saja. Mereka tanya, mengapa anak pria dan wanita berlatih bersama? Itu tidak baik," tutur Meena.

"Saya jawab tidak masalah. Saya bisa melatih anak wanita di waktu berbeda. Mereka bilang, bukan, kamu harus tutup klub ini," katanya lagi.

Meena yang tiba di Indonesia enam bulan lalu mengaku hidupnya terancam terkait dengan klub karatenya di negara asalnya itu.

"Sangat berbahaya bagiku," katanya seraya menambahkan, "Saya memulai (klub karate) di sini karena murid-murid ini tak boleh bekerja. Duduk di rumah sangat membosankan bagiku. Mengapa tidak berlatih karate? Mengapa duduk saja di rumah? Saya suka karate, dan saya senang bisa mengajari sesamaku (pengungsi)."

Students practice at the Cisarua Refugee Shotokan Karate Club Latihan karate di Cisarua Refugee Shotokan Karate Club.

Cisarua pernah menjadi titik kunci bagi pencari suaka yang berharap bisa naik perahu ke Christmas Island. Pencari suaka masih berdatangan ke Cisarua karena ada komunitas Afghanistan di sini.

Selain itu, juga ada sekolah yang dikelola para pengungsi, dibiayai oleh sumbangan dari berbagai pihak termasuk dari Australia.

Sekolah bernama Cisarua Refugee Learning Centre itu memiliki sekitar 90 murid dan daftar tunggu calon murid yang panjang.

Meena Asadi sendiri mengaku datang ke Indonesia bukan untuk pergi ke Australia.

"Saya datang kemari karena ini tempat yang aman. Jika saya ingin ke Australia, tentunya saya akan datang sebelumnya, bukan sekarang," kata Meena.

"Saya datang kemari jadi saya harus menyelamatkan diri dan hidup saya," tuturnya lagi.

Diterbitkan Pukul 13:00 AEST 30/6/2016 oleh Farid M. Ibrahim. Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement