REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Australia sepakat menutup pusat penahanan pencari suaka di Papua Nugini, Rabu (17/8). Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O'Neill mengatakan ia telah bertemu dengan Menteri Imigrasi Australia, Peter Dutton di Port Moresby.
"Baik Papua Nugini dan Australia sepakat bahwa pusat penahanan di pulau Manus akan ditutup," kata pernyataan, dikutip BBC.
Kesepakatan ini menyusul putusan Mahkamah Agung Papua Nugini pada April lalu yang menyebut fasilitas tersebut tidak sesuai konstitusi. Meski demikian, O'Neill mengatakan Manus Regional Processing Centre tidak akan segera ditutup.
"Penting untuk diingat bahwa proses ini tidak diburu-buru namun dilakukan dengan sangat hati-hati," kata O'Neill.
Fasilitas Manus itu menaungi sekitar 854 orang saat ini. Pemerintah Australia sering menggunakannya untuk menghalangi atau mengatur pengungsi yang mencari suaka di Australia. Mereka ditahan di pusat penahanan Pulau Manus, Papua Nugini dan Nauru, kepulauan Pasifik, seringnya tanpa kejelasan. Pusat penahanan ini juga kontroversial karena dituduh melakukan praktik yang melanggar HAM, seperti pelecehan seksual hingga kekerasan.
Dutton, dalam pernyataan, mengatakan pemerintah Australia punya komitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah Papua Nugini dalam penutupan fasilitas Manus.
"Posisi kami, dikonfirmasi lagi hari ini dengan Papua Nugini, bahwa tidak ada satu pun dari Manus Island Regional Processing Centre yang akan menetap di Australia," katanya.
Tidak jelas kemana para pengungsi ini jika fasilitas ditutup. Setelah putusan pada April, Dutton sempat mengatakan ada kelebihan kapasitas di Nauru untuk menampung pengungsi dari Manus. Australia juga mengaku bersedia membuka fasilitas di Pulau Natal untuk menampung pengungsi pria.