Rabu 04 Jan 2017 13:56 WIB

Mohammed Shohayet, Muslim Rohingya yang Meninggal 'Diburu' Tentara Myanmar

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Militer Myanmar di negara bagian Rakhine yang merupakan wilayah Muslim Rohingya tinggal.
Foto: AP Photo
Militer Myanmar di negara bagian Rakhine yang merupakan wilayah Muslim Rohingya tinggal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang remaja laki-laki di Bangladesh terlihat terbaring menghadap lumpur. Ia yang bernama Mohammed Shohayet telah meninggal.

Shohayet, merupakan satu dari banyaknya warga Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh. Bersama dengan ibu, paman, dan adik laki-lakinya. Mereka tenggelam di sungai saat mencoba melarikan diri dari rumah di Rakhine, setelah kekerasan dengan pasukan militer terjadi di wilayah negara bagian Myanmar itu.

Ayah dari Shohayet, Zafor Alam, begitu pilu melihat gambar keluarganya yang tewas. Ia merasa tidak lagi berguna untuk meneruskan kehidupan tanpa orang-orang tersayang di dekatnya. "Ketika saya melihat gambar keluarga saya, saya merasa lebih baik mati meninggalkan dunia ini," ujar Alam kepada CNN.

Gambar yang menunjukkan kematian Shohayet terlihat seperti remaja asal Suriah Alan Kurdi. Ia menjadi pengungsi yang melarikan diri dari perang di negaranya dan ditemukan tewas di pantai Turki pada September 2015.

Warga Rohingya di Myanmar disebut sebagai salah satu masyarakat minoritas yang paling teraniaya di dunia. Pemerintah di negara itu memandang mereka sebagai imigran dari Bengali. Padahal, fakta yang ada secara sejarah mereka adalah penduduk sah yang sudah turun-temurun menetap di Rakhine.

Baca juga, Citra Satelit: Ratusan Bangunan Muslim Rohingya Dibakar.

"Di desa kami, helikopter tiba-tiba datang dan menembak, serta pasukan militer juga jadi kamu harus melarikan diri dan bersembunyi di hutan," kata Alam.

Ia juga mengungkapkan, pembakaran di desanya. Kekerasan terus berlanjut, seiring banyak warga yang terus melarikan diri dari berbagai daerah di Rakhine.

Banyak orang yang terus berjalan menghindari pengejaran militer Myanmar. Tak sedikit yang kelelahan dan tak memiliki persediaan makanan apa pun untuk terus kuat. "Kami tidak bisa makan dan tidur, perjalanan terus kami lakukan tanpa rasa aman sedikit pun," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement