REPUBLIKA.CO.ID, ASTANA -- Pertemuan Astana mencoba memperkuat gencatan senjata yang rapuh di Suriah, Selasa (24/1). Rusia, Turki dan Iran mencoba mencari jalan keluar bersama untuk menenangkan pertempuran.
Para delegasi dari Pemerintah Suriah dan oposisi melakukan pembicaraan tak langsung di sebuah hotel Astana, Kazakhstan. Selasa menjadi hari kedua mereka bernegosiasi melalui perantara.
Hari pertama berakhir dengan hambar. Tidak ada kesepakatan atau pencapaian berarti, malah cenderung berbatu. Semua pihak mencoba di hari kedua untuk mencapai kesepakatan komunike.
Seperti dilansir Reuters, rancangan komunike mendesak pentingnya resolusi politik dan penguatan gencatan senjata yang dilahirkan 30 Desember lalu. Masing-masing pihak telah melanggarnya.
Delegasi dari Rusia, Turki dan Iran sedang mengupayakan komunike final agar diterima semua faksi Suriah, baik pemerintah maupun oposisi. Komunike tersebut tidak harus ditandatangani oleh kedua pihak.
Perwakilan khusus PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura yang juga hadir dalam pertemuan Astana melihat deklarasi final semakin dekat. Menurutnya, ketiga negara mediator akan memberikan pernyataan akhir untuk memperkuat upaya menghentikan pertempuran kedua pihak.
Sejumlah titik perdebatan muncul di hari pertama. Seperti istilah yang belum disetujui kedua pihak. Contoh, Pemerintah Suriah menolak penggunaan kata gencatan senjata. Mereka beranggapan istilah itu menunjukkan pengaturan jangka pendek.
Sementara pihak oposisi lebih menginginkan komitmen pada gencatan senjata. Negosiator pihak oposisi, Osama Abu Zaid mengatakan negara penjamin harus melakukan lebih dari saat ini.