Rabu 22 Feb 2017 17:23 WIB

Konferensi Palestina tanpa GCC, Mampukah Memberi Solusi?

Konferensi Internasional ke-6 tentang Palestina di Teheran, Selasa (21/2).
Foto: AP/Ebrahim Noroozi
Konferensi Internasional ke-6 tentang Palestina di Teheran, Selasa (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Ada yang berbeda dari Konferensi Internasional ke-6 tentang Palestina di Teheran, 21-22 Februari 2017. Di tengah kemarahan terhadap berlanjutnya pembangunan permukiman baru Yahudi di tanah suci Palestina, tidak tampak kehadiran delegasi dari negara GCC, seperti Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Qatar dan Kuwait. Bahkan delegasi Mesir dan Jordan pun tidak hadir.

Ketidakhadiran aktor-aktor penting ini menjadi pertanyaan tersendiri. "Ada faktor-faktor di luar isu Palestina yang melatari ketidakhadiran sejumlah negara itu. Perbedaan posisi dan sikap politik GCC dengan Iran terhadap sejumlah isu kawasan seperti isu Suriah, saya duga menjadi penyebabnya," demikian ungkap Mahfuz Siddiq, yang mewakili DPR RI dalam konferensi tersebut.

Sementara dari pihak Palestina mengirim delegasi cukup besar dan mewakili tiga faksi besar, yaitu Fatah, Hamas dan Jihad Islam. Delegasi Palestina dalam konferensi ini menyerukan perlunya perlawanan berlanjut terhadap kolonialisasi Israel atas Palestina. Sementara hampir semua ketua delegasi yang bicara menegaskan perlunya rekonsiliasi nasional di tubub bangsa Palestina.

"Memang ada ironi. Bagaimana masyarakat dunia, khususnya negeri-negeri Muslim, bisa mendorong rekonsilisasi nasional Palestina, jika negeri-negeri Muslim sendiri masih terfragmentasi untuk bicara isu Palestina?" ungkap Mahfuz seperti dilaporkan wartawan Republika, Nasihin Masha, dari Teheran, Iran.

Keinginan dan upaya rekonsiliasi sebenarnya sudah dirintis sejak dua tahun lalu dengan dimediasi oleh Mesir. Namun seiring perubahan politik akibat kudeta militer, proses mediasi ini terhenti. "Perlu langkah terobosan untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional bangsa Palestina. Dan hal ini sulit dimediasi oleh pihak yang posisinya dipersepsi tidak moderat. Perlu ada aktor baru sebagai mediator," ujar Mahfuz berharap di sela rapat-rapat komite pada konferensi tersebut.

Saat ditanya siapa aktor baru itu, Mahfuz menjelaskan bahwa Indonesia bisa mengambil peran tersebut. Indonesia dinilai mempunyai tiga modal penting untuk mengambil peran mediator rekonsiliasi. Pertama, pengalaman  panjang Indonesia dalam melakukan mediasi dan resolusi konflik.

Kedua, penerimaan baik seluruh unsur bangsa Palestina terhadap Indonesia. Karena selama ini Indonesia menjaga komitmen dukungan kemerdekaan Palestina sejak 1955 dan bantuan Indonesia yang tak pernah berhenti terhadap rakyat dan pemerintahan Palestina. "Ketiga, Indonesia tidak dalam posisi terfragmentasi dalam, sebut saja, kubu GCC dan kubu Iran," katanya.

Perkembangan terkini di Palestina memang disadari menuntut ada upaya-upaya akseleratif dan progresif dalam perwujudan negara Palestina merdeka dan berdaulat, serta dalam penyelesaian konflik panjang Palestina-Israel. Sementara situasi konflik kawasan di timur-tengah hanya akan menguntungkan Israel yang belakangan mendapat penguatan dukungan politik dari Donald Trump.

Menyatukan sikap dunia Islam, menggalang dukungan politik masyarakat dunia dan kemudian membantu rekonsiliasi nasional bangsa Palestina, menurut Mahfuz, menjadi agenda pokok dan bahkan prasyarat bagi penyelesaian konflik ini. Konferensi Internasional tentang Palestina dijadwalkan berakhir hari ini dengan dikeluarkannya Komunike Bersama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement