Ahad 10 Jun 2018 17:54 WIB

Majelis Umum PBB akan Voting untuk Resolusi Palestina

Resolusi berisi usulan tentang cara dan sarana untuk memastikan keamanan Palestina.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Bendera Palestina. Ilustrasi
Foto: Reuters
Bendera Palestina. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Majelis Umum PBB diperkirakan akan membahas rancangan resolusi untuk memberikan perlindungan bagi warga sipil Palestina pada Rabu (13/6) mendatang. Pemungutan suara akan dilakukan dalam sidang darurat itu, setelah resolusi serupa yang diajukan Kuwait diveto oleh AS di Dewan Keamanan PBB pekan lalu.

Dilaporkan kantor berita Anadolu, rancangan resolusi itu akan meminta Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres untuk meninjau situasi saat ini dan menyerahkan laporan tertulis sesegera mungkin. Laporan harus diserahkan tidak lebih dari 60 hari sejak resolusi diadopsi.

Resolusi tersebut berisi usulan tentang cara dan sarana untuk memastikan keamanan, perlindungan, dan kesejahteraan penduduk sipil Palestina di bawah pendudukan Israel. Salah satunya dengan memberikan rekomendasi mengenai mekanisme perlindungan internasional.

Mengacu pada sejumlah resolusi PBB lainnya yang terkait pada perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata, rancangan resolusi Palestina juga menyatakan keprihatinan atas pembunuhan warga sipil, termasuk anak-anak, tenaga medis, dan jurnalis oleh pasukan Israel. Rancangan resolusi itu menekankan perlunya Dewan Keamanan dan negara-negara anggota PBB untuk memperkuat perlindungan warga sipil. Selain itu, PBB juga perlu mendukung solusi abadi untuk konflik Israel-Palestina yang hanya dapat dicapai dengan cara damai sesuai dengan hukum internasional dan resolusi PBB yang relevan, serta melalui negosiasi yang kredibel.

Rancangan resolusi kali ini kemudian akan mendesak keterlibatan lebih jauh dari Sekjen PBB dan Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah guna membantu bekerja sama dengan mitra yang peduli. Hal itu dilakukan dalam upaya untuk mengurangi ketegangan situasi dan membenahi infrastruktur, kemanusiaan, dan kebutuhan pembangunan ekonomi, termasuk melalui implementasi proyek yang didukung oleh Ad Hoc Liaison Committee.

Rancangan resolusi tersebut juga menyerukan upaya untuk mengakhiri penjajahan Israel yang dimulai pada 1967 dan memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk memulai negosiasi yang kredibel demi perdamaian yang adil dan abadi. Semuanya diupayakan berdasarkan solusi dua negara demokratis yaitu Israel dan Palestina yang hidup berdampingan secara damai dengan garis perbatasan yang aman dan diakui.

Rancangan resolusi itu juga memutuskan untuk menunda sementara sidang darurat khusus kesepuluh Majelis Umum PBB. Pengesahan Presiden Majelis Umum pada sidang terbaru juga ditunda atas permintaan negara-negara anggota.

Rancangan resolusi lebih lanjut menegaskan kembali hak untuk berkumpul dan hak untuk melakukan aksi protes secara damai. Resolusi juga menekankan pentingnya penyelidikan independen dan transparan sesuai dengan standar internasional.

Semua pihak dinilai harus melakukan upaya untuk menstabilkan situasi dan membalikkan tren negatif di lapangan. Langkah pembatasan yang diberlakukan oleh Israel pada akses masuk dan keluar Jalur Gaza, termasuk untuk aliran bantuan kemanusiaan, juga perlu dihentikan.

Rancangan resolusi itu kemudian mendorong langkah nyata menuju rekonsiliasi intra-Palestina dan langkah-langkah konkret untuk menyatukan kembali Jalur Gaza dan Tepi Barat di bawah pemerintahan Palestina yang sah. Pada 2 Juni lalu, AS memveto resolusi yang diajukan Kuwait ke Dewan Keamanan PBB. Resolusi tersebut mengutuk kekerasan yang dilakukan Israel dan menyerukan perlindungan terhadap rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat.

Sepuluh negara di Dewan Keamanan PBB memberikan suara dukungan. Sementara Inggris, Polandia, Belanda, dan Ethiopia memilih abstain. Dewan Keamanan PBB lalu menolak rancangan resolusi yang diajukan AS, yang menyerukan penghukuman terhadap Hamas atas insiden kekerasan di Gaza. Resolusi AS itu ditentang oleh Rusia, Kuwait, dan Bolivia sementara 11 negara lainnya abstain dari pemungutan suara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement