Sabtu 16 Mar 2019 16:43 WIB

Teroris Selandia Baru Pakai 5 Senjata untuk Tembaki Muslim

Brenton Tarrant memperoleh lisensi senjata api pada November 2017.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Proses evakuasi korban penembakan di masjid Christchurch, Selandia Baru
Foto: EPA
Proses evakuasi korban penembakan di masjid Christchurch, Selandia Baru

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern akan mengubah undang-undang kepemilikan senjata api. Hal ini menyusul terjadinya aksi penembakan massal di Masjid Al Noor, Christchurch dan Masjid Linwood pada Jumat (15/3) lalu.

Baca Juga

"Undang-undang senjata kita akan berubah," ujar Ardern dilansir CNN, Sabtu (16/3).

Ardern mengatakan, pelaku teror di kedua masjid tersebut menggunakan lima senjata yang terdiri dari dua senjata semi otomatis dan dua senapan gentel dan satu lagi senjata berkokang.

Pelaku yang diidentifikasi bernama Brenton Tarrant memperoleh lisensi senjata api pada November 2017, dan mulai membeli senjata api secara legal pada Desember 2017.

"Kami sedang meninjau rangkaian peristiwa kemarin yang mengarah pada pemegang lisensi senjata, dan kepemilikan senjata. Saya kembali menegaskan, undang-undang senjata kita akan berubah," kata Ardern.

Penembakan massal terakhir yang terjadi di Selandia Baru yakni sekitar 30 tahun lalu. Ketika itu seorang pria bernama David Gray mengamuk dan menewaskan 13 orang. Setelah serangan tersebut, undang-undang kepemilikan senjata pertama kali disahkan pada 1983. Perdebatan berikutnya menyebabkan amandemen 1992 tentang regulasi senjata api semi otomatis.

Undang-undang kepemilikan senjata api Selandia Baru dinilai paling longgar divantara kebanyakan negara Barat, selain Amerika Serikat (AS). Dalam undang-undang tersebut, pemilik senjata membutuhkan lisensi dan tidak harus mendaftarkan senjata mereka.

Kepolisian Selandia Baru memperkirakan terdapat 1,2 juta senjata api yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan jumlah tersebut sama dengan satu senjata untuk tiga orang. Jumlah ini dinilai cukup tingg dibandingkan Australia yang mempunyai 3,15 juta senjata, dengan perkiraan satu senjata untuk delapan orang.

Meski undang-undang kepemilikan senjata di Selandia Baru terbilang longgar, tindak kriminalitas yang melibatkan senjata api di negara tersebut tergolong rendah. Pada 2015 tercatat hanya delapan kasus pembunuhan yang menggunakan senjata. Hal ini setara dengan satu kematian per 100 ribu orang.

Pemilik senjata di Selandia Baru harus berusia di atas 16 tahun dan dinyatakan lulus pemeriksaan oleh polisi. Undang-undang kepemilikan senjata api Selandia Baru tidak berubah secara substansial sejak 1992.

Lima tahun kemudian, sekitar 1997, pensiunan hakim Pengadilan Tinggi, Thomas Thorp merekomendasikan perubahan besar terhadap undang-undang kepemilikan senjata api. Thorp mengusulkan agar senjata api didaftarkan secara individual, dan senapan mesin yang dimiliki pibadi dapat dinonaktifkan secara permanen.

Di 79 negara yang disurvei oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pendaftaran senjata api merupakan landasan untuk pengendalian senjata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement