Selasa 19 Mar 2019 16:00 WIB

Teror Christchurch, Hassan Selamat di Tumpukan Jenazah

Setidaknya 50 orang meninggal dalam aksi penembakan di Christchurch.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Teguh Firmansyah
Warga meletakkan bunga di dinding di luar Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, Senin, (18/3/2019).
Foto: AP/Vincent Thian
Warga meletakkan bunga di dinding di luar Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, Senin, (18/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Sekitar pukul 14.00, saat tembakan di masjid Linwood Christchurch berhenti, Abdi Sheikh Hassan menemukan dirinya berada di bawah tumpukan jenazah. Ia berada di shaf depan masjid dekat dengan imam ketika seorang pria bersejata mendekati dan melepaskan tembakan.

Berondongan tembakan membuat jamaah yang berasal di barisan belakang berkumpul ke depan dan bertumpuk di atasnya.  “Ada darah di mana-mana,” kenang Hassan seperti dilansir Aljazirah pada Selasa (19/3).

Baca Juga

Sambil gemetar ketakutan, pria berusia 28 tahun yang beruntung tak terluka itu berdiri pascapembantaian. Sementara temannya, yang tergeletak di sebelahnya, telah ditembak di bagian kepala.

“Tujuh orang tewas dan begitu banyak orang terluka, di antara mereka ada wanita dan anak-anak, semua orang kaget,” katanya.

Hassan kemudian mengetahui bahwa komunitas Muslim Christchurch telah menjadi sasaran penembakan massal paling mematikan dalam sejarah Selandia Baru. Sesaat sebelum serangan di Linwood, pelaku bersenjata itu telah membunuh lebih dari 40 jemaah di Masjid Al Noor yang hanya berjarak sekitar tujuh kilometer.

Setidaknya 50 orang terbunuh, dan puluhan lainnya terluka. Pelaku diketahui adalah warga Australia berusia 28 tahun yang diidentifikasi sebagai Brenton Harrison Tarrant. 

Sejauh ini ia telah didakwa dengan satu tuduhan pembunuhan. Diperkirakan pelaku akan menghadapi banyak tuduhan yang diajukan padanya.

photo
Evakuasi korban penembakan di masjid Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3).

Salah satu dari korban terbunuh dalam pembantaian itu adalah Mucaad Ibrahim yang berusia tiga tahun. Hassan kenal baik keluarga itu. Seperti ayah Mucaad yang lahir di Somalia, Adan Ibrahim, Hassan juga melarikan diri dari kekerasan dan ketidakstabilan di Somalia delapan tahun lalu, untuk mencari tempat yang damai.

“Keamanan buruk tempat asal kami dan kami tidak berpikir hal buruk dapat terjadi di sini. Tapi kami sebagai Muslim percaya apa pun yang terjadi baik atau buruk adalah ujian Allah, untuk melihat apakah kita mengikuti ajaran Nabi Muhammad,” kata Hassan.

Jumlah muslim di Christchurch hanya beberapa ribu saja dari total 400 ribu penduduk di kota itu. Namun tragedi itu telah memengaruhi hampir setiap rumah tangga Muslim di kota itu.

“Kami saling kenal dengan sangat baik di komunitas Muslim, dengan sangat baik. Kami menghabiskan waktu lama untuk sholat bersama, dan sekarang kami sibuk mengatur bagaimana cara mengubur semua jenazah,” ujarnya.

Hassan tidak punya rencana untuk meninggalkan Christchurch. Setelah menjadi insinyur dan membangun kehidupan di Selandia Baru, ia bertekad untuk terus hidup dan bekerja di tempat yang sekarang ia sebut rumah itu.

“Saya masih percaya sekarang ini adalah tempat yang aman dan Selandia Baru adalah negara terbaik bagi kami. Di mana saja, Anda dapat menemukan orang baik dan jahat, tetapi sebagian besar orang di sini, Alhamdullilah adalah orang baik dan menjaga kami. Apa yang telah diberikan Allah kepada kita, kita senang,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement