Selasa 19 Mar 2019 23:51 WIB

Myanmar Vonis Pemimpin Rakhine 20 Tahun Penjara

Vonis ini meningkatkan kemarahan di tengah pertempuran antar etnis dan tentara.

Rep: Fergi nadira/ Red: Nashih Nashrullah
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, SITTWE – Pengadilan Myanmar menjatuhkan hukuman penjara 20 tahun kepada pemimpin terkemuka Rakhine, Aye Maung pada Selasa (19/3) waktu setempat. Dia divonis dengan tuduhan pengkhianatan terhadap negara. 

Putusan tersebut meningkatkan kemarahan di tengah pertempuran antara kelompok etnis dan tentara. 

Baca Juga

Pasukan keamanan berusaha menenangkan ratusan pendukung di luar pengadilan di ibu kota negara bagian Rakhine, Sittwe ketika Aye Maung dikawal ke sebuah van polisi yang menunggu setelah putusan hari ini.

Pengacara Maung mengatakan, pihaknya tengah mendiskusikan apakah akan mengajukan banding atau tidak. Sebab, di Myanmar, pasal pengkhianatan dapat membawa kepada hukuman mati. 

Aye Maung merupakan mantan ketua Partai Nasional Arakan. Partai tersebut terkenal karena pandangan dukungannya terhadap minoritas Muslim Rohingya. 

Pengadilan menjatuhi hukuman karena pengkhianatan dan pencemaran nama baik pada pidatonya di Januari 2018, sehari sebelum kerusuhan mematikan pecah.  

Kala itu, media yang didukung negara mengatakan, ia mencerca pemerintah pusat karena memperlakukan etnis Rakhine sebagai budak. Kala itu, ia juga mengatakan, saat itu adalah waktu yang tepat bagi masyarakat untuk melancarkan perjuangan bersenjata.  

Malam berikutnya, para pemrotes Rakhine secara singkat menyita sebuah gedung pemerintah. Polisi langsung melepaskan tembakan yang menewaskan tujuh orang. 

Aye Maung dan seorang tahanan lainnya, penulis Wai Hin Aung yang juga memberikan pidato pada rapat umum yang sama, ditangkap beberapa hari kemudian. 

"Baik Aye Maung dan penulis Wai Hin Aung dijatuhi hukuman masing-masing 20 tahun  atas tuduhan pengkhianatan tingkat tinggi dan dua tahun masing-masing karena pencemaran nama baik negara," ujar pengacara Maung, Wai Hin Aung Aye Nu Sein seperti dilansir Aljazera, Selasa (19/3).

Tindakan keras militer brutal pada 2017 memaksa sekitar 740 ribu Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine melintasi perbatasan ke Bangladesh.

Sebanyak 600 ribu Rohingya lainnya tetap di negara bagian Rakhine tanpa kewarganegaraan, terbatas pada kamp atau desa mereka, serta banyak yang tidak dapat mengakses perawatan medis.

Namun, populasi etnis Buddha Rakhine, yang beberapa di antaranya dituduh membantu tentara dalam kampanye anti-Rohingya, juga merasa dipinggirkan negara. 

Sementara, pendukung pasangan dua tokoh yang dijatuhi hukuman Myanmar marah dengan penganiayaan yang dirasakan dua tokoh Rakhine. "Ini tidak adil. Ini penindasan terhadap orang-orang etnis Rakhine," kata seorang wanita berteriak di depan pengadilan. 

Para pengunjuk rasa juga menyebar ke pusat kota. Dalam beberapa minggu terakhir, militer telah mengobarkan perang terhadap Tentara Arakan (AA), sebuah kelompok bersenjata yang mengaku mewakili etnis Rakhine.

Kelompok tersebut melancarkan serangan keras ke pos-pos polisi pada Januari yang menewaskan 13 petugas. 

Kelompok itu juga menewaskan sembilan polisi lebih awal bulan ini. Sebagian besar Rakhine utara terkunci dan informasi sulit untuk diverifikasi secara independen. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement