Selasa 26 Mar 2019 22:02 WIB

Meski Pertempuran Mereda, Suasana Gaza Masih Siaga

Warga Israel diimbau tinggal di dekat tempat perlindungan bom.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nashih Nashrullah
Para pengunjuk rasa Palestina di dekat perbatasan antara Israel dan Jalur Gaza, bagian timur Gaza, Jumat (22/02/2019).
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Para pengunjuk rasa Palestina di dekat perbatasan antara Israel dan Jalur Gaza, bagian timur Gaza, Jumat (22/02/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Pertempuran antara Hamas dan Israel mulai mereda pada Selasa (26/3). Namun ketegangan masih membekap wilayah perbatasan Jalur Gaza. 

Meskipun gencatan senjata telah tercapai, Israel tetap memperingatkan warganya yang tinggal tak jauh dari wilayah perbatasan agar selalu waspada. Warga Israel bahkan diimbau tinggal di dekat tempat perlindungan bom.  

Baca Juga

"Saya memberitahu anak-anak saya bahwa semuanya akan baik-baik saja dan semuanya akan berakhir. Kami percaya pemerintah akan menyelesaikan masalah ini," ujar Eliav Vanunu, seorang warga Israel yang tinggal di wilayah perbatasan, Sderot.  

Tercapainya gencatan senjata antara Hamas dan Israel terjadi sehari setelah beberapa roket ditembakkan dari Jalur Gaza ke wilayah Israel pada Senin (25/3) malam. 

Redanya pertempuran antara Hamas dan Israel terjadi setelah Mesir turun tangan untuk memediasi kedua belah pihak. Kairo berhasil mendorong Hamas dan Israel menyepakati gencatan senjata.  

"Upaya Mesir sukses, dengan gencatan senjata antara pendudukan (Israel) dan faksi-faksi perlawanan (Palestina di Gaza)," ujar juru bicara Hamas Fawzi Barhoum, dikutip laman Aljazeera. Kendati demikian, Israel belum memberikan komentar perihal gencatan senjata tersebut.  

Hamas dan Jihad Islam, dalam sebuah pernyataan bersama mengatakan, serangan tersebut merupakan tanggapan atas serangan udara Israel. 

Israel diketahui membidik seluruh pos dan markas Hamas di Gaza pascaserangan roket ke wilayahnya. Kantor pemimpin Hamas Ismail Haniyeh yang berada di distrik Al-Rimal barat dilaporkan turut hancur akibat serangan Israel.  

Tel Aviv mengonfirmasi pesawat tempurnya memang mengincar kantor Haniyeh. Sebab tempat itu kerap digunakan untuk mengadakan pertemuan terkait militer. 

Namun Israel tak memberi penjelasain mendetail tentang pertemuan yang dimaksud.  

Selain kantor Haniyeh, Israel mengklaim berhasil menghancurkan markas intelijen militer Hamas. Sejumlah bangunan turut ambruk terhantam serangan udara Israel.  

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan tidak ada korban jiwa akibat gempuran Israel. Namun setidaknya tujuh warga Palestina terluka. 

Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza Ashraf al-Qudrah mengungkapkan, pos-pos medis di Gaza masih dalam status siaga tinggi. 

Hamas dan Jihad Islam telah sesumbar akan menginstensifkan serangan jika Israel tak menghentikan serangan udaranya. 

"Kita harus menghadapi serangan ini dengan front nasional bersatu dan berkoordinasi dengan sekutu Arab kita. Rakyat kita dan (kelompok) perlawanan tidak akan menyerah jika pendudukan melewati garis merah," kata Ismail Haniyeh.  

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah menyatakan keprihatinan atas eskalasi terbaru di Gaza. Dia mendesak semua pihak agar semaksimal mungkin menahan diri.  

Situasi di perbatasan Gaza-Israel telah memanas dalam setahun terakhir. Hal itu dipicu oleh digelarnya aksi bertajuk "Great March of Return" pada Maret 2018. Dalam aksi tersebut, warga Palestina di Gaza berduyun-duyun melakukan demonstrasi di dekat pagar perbatasan Israel.   

Mereka menuntut Israel mengembalikan lahan dan tanah yang didudukinya pasca Perang 1967 kepada para pengungsi Palestina. 

Kala itu warga Palestina juga menyuarakan protes atas keputusan Amerika Serikat (AS) memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem. 

Namun Israel merespons aksi demonstrasi itu secara represif. Mereka menembaki para demonstran dengan peluru tajam.

Sebanyak 189 warga Palestina tewas sepanjang aksi Great March of Return dilaksanakan. Sementara sekitar 6.016 lainnya mengalami luka ringan dan berat.   

PBB telah menyatakan bahwa tindakan Israel terhadap para demonstran Great March of Return merupakan kejahatan perang. 

"Beberapa pelanggaran itu mungkin merupakan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan dan harus segera diselidiki Israel," ujar Komisaris Kenya Betty Kaaring Murungi dalam laporan yang diterbitkan Komisi Penyelidikan Independen PBB tentang Protes di Wilayah Palestina yang Diduduki. 

Sejak 2007, telah terjadi tiga kali pertempuran di Jalur Gaza. Peperangan paling mematikan meletus pada 2014. Saat itu gempuran militer Israel menyebabkan sekitar 1.800 warga Palestina di Gaza tewas dan lebih dari 10 ribu lainnya luka-luka. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement