Rabu 03 Apr 2019 05:35 WIB

Perekonomian Inggris Lumpuh Setelah Brexit

Ketidakpastian tentang Brexit membuat ekonomi Inggris lumpuh.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Nur Aini
Demonstran anti-Brexit membawa patung Perdana Menteri Theresa May dekat College Green di Houses of Parliament, London, Senin (1/4).
Foto: Jonathan Brady/PA via AP
Demonstran anti-Brexit membawa patung Perdana Menteri Theresa May dekat College Green di Houses of Parliament, London, Senin (1/4).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Politisi Inggris tidak menyetujui untuk meninggalkan Uni Eropa, dan ini telah menjerumuskan Brexit dalam kekacauan hingga melumpuhkan perekonomian Inggris. Bisnis perumahan lemah, produksi mobil merosot, investasi menurun, dan eksekutif suram. Itu menunjukkan hampir tiga tahun ketidakpastian tentang Brexit menyebabkan ekonomi Inggris mandek.

Tanda peringatan terbaru datang pada Selasa (2/4), ketika Kamar Dagang Inggris melakukan survei terhadap 7.000 bisnis yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi hampir terhenti pada kuartal pertama.

Baca Juga

"Temuan kami harus dilihat sebagai peringatan yang jelas, bahwa kebuntuan yang sedang berlangsung di Westminster, berkontribusi terhadap penurunan tajam dalam ekonomi riil," kata Direktur Jenderal Kelompok Lobi Bisnis, Adam Marshall.

Ekonomi Inggris meningkat hanya 0,2 persen dalam tiga bulan yang berakhir pada Januari 2019. Namun, para ekonom khawatir laju pertumbuhan jadi melemah sejak saat itu. Salah satu bukti adalah masalah di sektor jasa, yang merupakan sekitar 80 persen dari PDB.

Survei dari IHS Markit menunjukkan bahwa pekerjaan di sektor jasa pada Februari 2019, adalah penurunan paling cepat sejak 2012. Penurunan pekerjaan di sektor jasa ini karena perusahaan menunda keputusan perekrutan, sebab kondisi Brexit yang masih dalam keadaan tidak pasti.

Kepala Ekonom Bisnis IHS Markit, Chris Williamson, menyebutkan data menunjukkan bahwa ekonomi Inggris dekat dengan stagnasi pada Februari 2019 dan pertumbuhannya dapat melambat menjadi 0,1 persen pada kuartal pertama. Menurut data yang dirilis oleh IHS Markit, output konstruksi juga turun pada Maret 2019. Manufaktur bergerak lebih tinggi selama Maret ini, tetapi hanya karena penimbunan bisnis sebagai persiapan menghadapi Brexit.

Pasar properti Inggris terpukul keras setelah pemungutan suara Brexit pada Juni 2016, dan kelemahannya yang berkelanjutan menggarisbawahi biaya ketidakpastian yang sedang berlangsung.

Menurut Nationwide (perusahaan pinjaman jaminan hipotek), harga rumah di London turun 3,8 persen pada kuartal pertama dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Dan ini adalah penurunan harga rumah London yang paling tajam sejak 2009.

"Tingginya Brexit dan ketidakpastian ekonomi, memicu kehati-hatian pembeli," kata Kepala Penasihat Ekonomi EY ITEM Club, Howard Archer.

Royal Institution of Chartered Surveyors mengatakan bahwa survei profesional industri menunjukkan bahwa permintaan dan penjualan pembeli baru, turun selama enam bulan berturut-turut pada Februari. Dikatakan bahwa 77 persen responden survei mengkonfirmasi bahwa kebingungan mengenai Brexit telah memberikan tekanan pada pasar.

Ekonom juga membunyikan alarm atas investasi yang berkurang. Investasi bisnis di Inggris turun 0,9 persen dalam tiga bulan terakhir di 2018, ini menandai investasi pertama kalinya telah menurun dalam empat kuartal berturut-turut sejak krisis keuangan global.

Menurut The Society of Motor Manufacturers and Traders, investasi baru di industri otomotif, turun setengahnya pada 2018.

Industri, yang telah dilanda skandal diesel dan tes emisi baru, telah mengalami kesulitan akibat penurunan tajam penjualan. Produksi mobil turun selama sembilan bulan berturut-turut di bulan Februari.

Bank of England memperkirakan bahwa ekonomi Inggris sudah 2 persen lebih kecil jika para pemilih memilih untuk tetap bergabung di Uni Eropa. Itu berarti kerugian bagi ekonomi Inggris sebesar 800 juta euro (1 miliar dolar AS) per pekan.

Sementara itu, untuk menyelesaikan masalah ekonomi lainnya seperti produktivitas yang kurang baik dan meningkatnya ketidaksetaraan, ini belum banyak dilakukan oleh Inggris.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement