Ahad 07 Apr 2019 15:45 WIB

Reaksi Palestina Saat Netanyahu Ingin Caplok Tepi Barat

Netanyahu akan bersaing dalam pemilu Selasa (9/4) besok.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Dwi Murdaningsih
Kota Qalqilya di Tepi Barat Sungai Yordan, Palestina.
Foto: Wikipedia
Kota Qalqilya di Tepi Barat Sungai Yordan, Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjanji, dirinya akan mencaplok permukiman Israel di Tepi Barat jika menang dalam pemilihan umum (pemilu) yang akan dilangsungkan pada 9 April 2019. Keputusan tersebut langsung membuat para pemimpin Palestina beraksi dengan keras.

Kepala negosiator Palestina dan pembantu dekat Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Saeb Erekat mengatakan, Israel tidak akan berhenti melanggar hukum internasional selama mendapatkan dukungan terutama dari Amerika Serikat (AS).

Baca Juga

"Israel akan terus melanggar hukum internasional selama masyarakat internasional terus memberikan penghargaan kepada Israel, terutama dengan dukungan Administrasi Trump dan dukungan pelanggaran Israel terhadap hal nasional dan hak asasi manusia rakyat Palestina," ujar Erekat.

Pejabat Hamas, Sami Abu Zuhri mendesak Otoritas Palestina menghentikan kerja sama keamanannya dengan Israel di Tepi Barat yang diduduki. Dia menegaskan, Israel tidak akan pernah mencaplok wilayah permukiman Tepi Barat.

"Mimpi Netanyahu untuk mencaplok Tepi Barat tidak akan pernah tercapai, dan kami tidak akan membiarkan itu terjadi. Sudah waktunya untuk menghentikan koordinasi keamanan dengan pendudukan, dan bersatu dalam menghadapi tantangan," kata Abu Zuhri.

Permukiman merupakan salah satu masalah paling panas dalam upaya untuk memulai kembali perundingan damai Israel-Palestina. Setelah puluhan tahun membangun permukiman, lebih dari 400 ribu warga Israel kini tinggal di Tepi Barat. Sementara, menurut Biro Statistik Palestina, terdapat 2,9 juta warga Palestina yang juga tinggal di Tepi Barat.

Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Koordinasi Urusan Kemanusian menyebut sekitar 212 ribu permukiman Israel tinggal di Yerusalem Timur. Palestina dan banyak negara menyatakan, konvensi Jenewa melarang permukiman dibangun di atas tanah yang direbut dalam perang. Namun Israel membantah hal tersebut, mereka menyebut pembangunan permukiman untuk kebutuhan keamanan, historis, dan politis.

Pernyataan Netanyahu tersebut menyangkut dengan serangkaian pengumuman dan perubahan kebijakan oleh Presiden AS Donald Trump yang dianggap menguntungkan Israel. Pada Maret lalu, Trump memutuskan untuk mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.  Dataran Golan merupakan wilayah yang direbut Israel dari Suriah pada Perang 1967. Aneksasi Golan juga dilakukan Israel pada 1981, tetapi hal itu tidak akui secara internasional. Suriah meminta Israel mengembalikan wilayahnya.

Kemudian pada Desember 2017, AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya di kota tersebut. Kedua keputusan ini sangat menguntungkan Israel, dan membuat geram para pemimpin serta rakyat Palestina. Melalui langkah AS yang mengakui Yerusalem dan Dataran Tinggi Golan, maka Israel akan merasa semakin berani untuk mengadvokasi perluasan wilayah kedaulatan.

Departemen Luar Negeri AS enggan berkomentar terhadap pernyataan Netanyahu tersebut. Upaya Netanyahu ini disebut untuk menarik suara sayap kanan. Apalagi, selama masa kampanye pemilu, Netanyahu dituduh telah melakukan korupsi. Netanyahu membantah melakukan kesalahan dalam tiga kasus dugaan suap dan penipuan.

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement