Selasa 09 Apr 2019 14:49 WIB

Lima Fakta Pemilu Israel

Pemimpin partai dengan kursi terbanyak tidak lantas menjadi perdana menteri Israel.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ani Nursalikah
Warga Irael menunggu lampu lalu lintas menyala hijau di depan poster para pemimpin Partai Blue and White, (dari kiri ke kanan) Moshe Yaalon, Benny Gantz, Yair Lapid dan Gabi Ashkenazi, di Ramat Gan, Israel, Ahad (7/4).
Foto: AP Photo/Oded Balilty
Warga Irael menunggu lampu lalu lintas menyala hijau di depan poster para pemimpin Partai Blue and White, (dari kiri ke kanan) Moshe Yaalon, Benny Gantz, Yair Lapid dan Gabi Ashkenazi, di Ramat Gan, Israel, Ahad (7/4).

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel mengadakan pemilihan umum (pemilu) pada Selasa (9/4). Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan bersaing secara ketat dengan mantan kepala staf militer Benny Gantz.

Berikut adalah lima hal yang perlu diketahui seputar pemilu Israel, dilansir BBC.

Pemilu Israel tahun ini disebut sebagai pemilu yang paling ketat

Netanyahu kembali mencalonkan diri sebagai perdana menteri untuk kelima kalinya. Jika kembali terpilih, dia akan menyamai rekor pendiri Israel, David Ben-Gurion yang menjabat sebagai perdana menteri terlama di negara tersebut.

Selain itu, Netanyahu juga sedang menghadapi dakwaan dugaan korupsi dan suap. Jaksa Agung telah mendakwa Netanyahu dan tinggal menunggu sidang. Sementara itu, Gantz merupakan pesaing terberat bagi Netanyahu.

Gantz merupakan pendatang baru dalam politik dan disebut dapat menyaingi Netanyahu dalam masalah keamanan. dan menjanjikan politik yang lebih bersih. Gantz bersama dengan mantan menteri pertahanan sayap kanan, Moshe Yaalon dan mentan menteri keuangan sayap tengah-kiri, Yair Lapid membentuk aliansi politik sayap tengah baru bernama Kahol Lavan. Pada awal jajak pendapat, Kahol Lavan mengungguli Likuid Party yang mengusung Netanyahu.

Persaingan dalam pemilu kali ini cenderung mengarah kepada pemilu yang agresif. Para pemilih Israel cenderung memutuskan dukungan berdasarkan kepribadian para calon perdana menteri, ketimbang kebijakan mereka.

Pemimpin partai dengan kursi terbanyak tidak lantas menjadi perdana menteri

Tidak ada satu pun partai di Israel yang pernah memenangkan mayoritas kursi di parlemen. Negara selalu memiliki pemerintahan koalisi. Artinya, perdana menteri tidak perlu memenangkan suara terbanyak, namun cukup mengumpulkan setidaknya 61 dari 120 kursi di Knesset.

Beberapa jajak pendapat menunjukkan, Netanyahu memiliki kemungkinan lebih besar untuk membentuk koalisi ketimbang Gantz. Karena Netanyahu mempunyai hubungan dengat dengan partai-partai sayap kanan dan partai-partai keagamaan lainnya.

Dalam sebuah langkah yang menuai kritik untuk mengunci kursi-kursi ekstra sayap kanan, Netanyahu membuat sebuah kesepakatan yang memudahkan para kandidat dari partai sayap kanan ekstrim yang dinilai rasis di parlemen.

Rencana perdamaian dengan Palestina tidak menonjol

Beberapa pekan belakangan telah terjadi ketegangan antara Israel dengan militan Palestina di Jalur Gaza. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump diperkirakan akan mempublikasikan rencananya untuk menyelesaikan konflik lama Israel dan Palestina setelah pemilu.

Namun, upaya untuk menghidupkan kembali proses perdamaian yang hampir mati antara Israel dan Palestina tidak menjadi subjek utama dalam debat pemilu. Publik Israel melihat sedikit harapan untuk mencapai perdamaian tersebut. Netanyahu secara terbuka menentang pembentukan negara Palestina dan ingin mencaplok wilayah Tepi Barat.

Sementara itu, dalam kampanyenya, Gantz menyerukan perdamaian di Palestina. Namun dia tidak secara spesifik menyebutkan apakah Palestina akan menjadi bagian dari negara. Aliansi Gantz juga terus menyerukan untuk mengendalikan Lembah Jordan, dan mempertahankan blok pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Menurut hukum internasional, pemukiman itu dianggap ilegal, namun dibantah oleh Israel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement