Senin 15 Apr 2019 19:20 WIB

Eropa Didesak Berpihak pada Palestina

Eropa diminta menolak kerangka perdamaian Israel-Palestina yang digagas AS.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Bendera Uni Eropa.
Foto: EPA/Patrick Seeger
Bendera Uni Eropa.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Sebanyak 25 mantan menteri luar negeri negara Eropa mendesak Uni Eropa menolak kerangka perdamaian Timur Tengah, termasuk Israel-Palestina, yang digagas Amerika Serikat (AS) atau dikenal dengan istilah "Deal of the Century". Eropa diminta menerima kerangka itu jika memang memberikan keadilan bagi Palestina. 

"Sudah saatnya bagi Eropa untuk berpegang pada parameter utama kami untuk perdamaian Israel-Palestina," kata para mantan menteri luar negeri Eropa dalam surat yang ditandatangani bersama, dikutip laman the Guardian, Senin (15/4). 

Baca Juga

Mereka meyakini bahwa Eropa harus merangkul serta mempromosikan rencana atau kerangka perdamaian yang menghormati prinsip-prinsip dasar hukum internasional. Hal itu telah tercermin dalam parameter Uni Eropa yang disepakati untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Parameter tersebut, sebagaimana telah ditegaskan kembali dalam pembicaraan dengan AS, merefleksikan pemahaman bersama bahwa perdamaian yang layak membutuhkan pembentukan dua negara Israel dan Palestina dengan garis perbatasan pra-1967, dengan Yerusalem sebagai ibu kota kedua belah pihak. 

Selain itu, harus jelas tentang masalah pengaturan keamanan dan solusi yang adil serta disepakati untuk para pengungsi Palestina. "Eropa, sebaliknya, harus menolak rencana apa pun yang tidak memenuhi standar ini," kata mereka. 

Para mantan menteri luar negeri Eropa mengaku menyayangkan pemerintahan AS yang saat ini telah menyimpang dari kebijakan terdahulunya. Washington kian menjauhkan diri dari norma-norma hukum internasional yang sudah mapan. Hal itu terlihat dengan hanya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. 

AS juga tak memedulikan tentang perluasan permukiman ilegal Israel di wilayah Palestina yang diduduki. Selain itu, ia pun memutuskan menghentikan kontribusinya bagi Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Padahal AS merupakan penyandang dana terbesar bagi organisasi tersebut. 

Pemerintahan Trump telah menyatakan bahwa ia hampir menyelesaikan dan menyajikan rencana baru untuk perdamaian Israel-Palestina. "Meskipun ketidakpastian mengenai apakah dan kapan rencana itu akan dirilis, sangat penting bagi Eropa untuk waspada dan bertindak secara strategis," kata para eks diplomat Eropa. 

"Untuk mengantisipasi rencana AS ini, kami percaya Eropa harus secara resmi menegaskan kembali parameter yang disepakati secara internasional untuk solusi dua negara," ujar mereka. 

Tentu akan lebih baik jika Eropa dan AS bisa bekerja sama untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina, termasuk masalah-masalah global lainnya. "Namun dalam situasi di mana kepentingan vital dan nilai-nilai fundamental kita dipertaruhkan, Eropa harus mengejar tindakannya sendiri," ucap para mantan diplomat Eropa. 

Surat desakan terhadap Uni Eropa itu ditandatangani antara lain oleh mantan menteri Inggris untuk Eropa Douglas Alexander, mantan menteri luar negeri dan perdana menteri Prancis Jean-Marc Ayrault, mantan menteri luar negeri dan perdana menteri Swedia Carl Bildt, mantan menteri luar negeri dan perdana menteri Polandia Wlodzimierz Cimoszewicz, mantan menteri luar negeri Belgia dan sekretaris jenderal NATO Willy Claes, mantan perdana menteri Rumania dan komisaris Eropa Dacian Cioloş, serta lainnya. 

Sementara itu, Kepala Pusat Kajian Strategis Kementerian Luar Negeri Turki Ufuk Ulutas mengatakan solusi dua negara adalah satu-satunya cara menuntaskan konflik Israel-Palestina. "Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa (solusi dua negara) sekarang memiliki prospek yang sangat jelas di kawasan ini, tapi itu masih merupakan salah satu pilihan terbaik kami menemukan solusi jangka panjang untuk konflik Israel-Palestina," ucapnya saat mengahdiri pertemuan NATO di Antalya, Turki, pada Ahad (14/4), dikutip laman Anadolu Agency. 

Menurut dia, ada lima hambatan utama untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Pertama adalah tindakan unilateral AS. Dalam konteks ini, Washington telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya ke kota suci tersebut. Pemerintahan Trump bahkan mengakui kedaulatan Tel Aviv atas Dataran Tinggi Golan. 

"Dengan langkah-langkah ini, AS memilih menjadi bagian dari masalah alih-alih solusi," ucap Ulutas. 

Kedua, muncul dan berkuasanya partai-partai sayap kanan Israel. Kemenangan Benjamin Netanyahu dalam pemilu Israel lalu menjadi ancaman tersendiri bagi perdamaian antara Israel dan Palestina. Apalagi, Netanyahu telah berjanji akan mencaplok Tepi Barat jika terpilih kembali sebagai perdana menteri. 

Ketiga, serangan-serangan yang kerap dilancarkan Israel terhadap Palestina mengakibatkan mereka kehilangan visi bagi terwujudnya perdamaian. Keempat masih minimnya partisipasi internasional dalam proses perdamaian Palestina. "Seolah-olah seluruh perjuangan untuk menciptakan perdamaian dalam konflik Israel-Palestina telah diberikan kepada AS," ujar Ulutas. 

Terakhir adalah fragmentasi dalam politik Palestina. "Perpecahan geografis di Palestina (Tepi Barat dikendilakan Fatah dan Jalur Gaza dikontrol Hamas) sayangnya memperdalam perpecahan politik," kata Ulutas. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement