Selasa 16 Apr 2019 23:07 WIB

Rencana Perdamaian AS tak Sertakan Kemerdekaan Palestina

Rencana perdamaian AS hanya mencantumkan perbaikan kehidupan rakyat Palestina.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nashih Nashrullah
Pengunjuk rasa melambaikan bendera Palestina saat terjadi bentrokan di dekat perbatasan dengan Israel di timur Kota Gaza, Jumat (15/12). Demonstran memprotes keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Pengunjuk rasa melambaikan bendera Palestina saat terjadi bentrokan di dekat perbatasan dengan Israel di timur Kota Gaza, Jumat (15/12). Demonstran memprotes keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Amerika Serikat (AS) disebut tidak akan menyertakan kemerdekaan dan kedaulatan Negara Palestina dalam rencana perdamaian Timur Tengah-nya yang dikenal dengan istilah "Deal of the Century". Washington hanya mencantumkan tentang perbaikan kehidupan rakyat Palestina. 

Hal tersebut dilaporkan Washington Post pada Ahad (14/4), mengutip sumber-sumber pejabat yang mengetahui tentang rencana tersebut. Menurut mereka, Gedung Putih hanya akan menjanjikan perbaikan praktis kehidupan orang-orang Palestina. Sementara soal kemerdekaan dan kedaulatan Palestina tak dilampirkan.

Baca Juga

Para pejabat AS pun mengatakan bahwa rencana itu akan menghilangkan status kewarganegaraan sebagai landasan awal upaya perdamaian Israel-Palestina. Namun rencana tersebut kemungkinan besar akan tetap fokus pada masalah keamanan Israel. 

Karena tak menyertakan tentang kemerdekaan Palestina, sebagai gantinya AS akan melakukan investasi dan sumbangan senilai puluhan miliar dolar AS untuk Tepi Barat serta Jalur Gaza. Mesir, Yordania, dan negara-negara Teluk yang kaya juga tak luput dari cipratan uang AS. 

"Rencana ekonomi hanya berfungsi jika kawasan mendukungnya. Ini adalah bagian yang sangat penting dari keseluruhan persamaan," kata seorang pejabat AS kepada Washington Post, dikutip laman the Times of Israel. 

Kendati demikian, pejabat itu mengatakan Gedung Putih sangat menyadari bahwa ketika mereka hanya berfokus pada masalah ekonomi dan mengabaikan aspirasi politik, rencana perdamaian yang telah dirancang kemungkinan besar gagal. 

"Ini bukan perdamaian ekonomi. Kami menanggapi dengan sangat serius kedua aspek ini, politik, yang menangani semua masalah inti, dan ekonomi," kata pejabat tersebut. 

Kendati demikian, seorang pejabat senior Gedung Putih meyakini bahwa pemerintahan Donald Trump memiliki solusi yang adil untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina. "Kami percaya kami memiliki rencana yang adil, realistis, dan dapat diterapkan yang akan memungkinkan orang untuk menjalani kehidupan yang lebih baik," ujarnya, dikutip laman Aljazirah. 

photo
Warga Palestina shalat Jumat di kompleks Masjid Al Aqhsa Yerusalem, Jumat (18/5). Penjajah Israel membuka akses wilayah ini bagi jamaah Shalat Jumat wanita, anak-anak, dan laki-laki berumur di atas 40 tahun.

Menurut dia, Gedung Putih telah memperhatikan upaya perdamaian yang gagal pada masa lalu, serta usulan dari kedua belah pihak, termasuk mitra-mitra di kawasan. "Dengan demikian kami telah mengambil pendekatan tidak konvensional yang dibangun dengan tidak bersembunyi dari kenyataan, tapi sebaliknya berbicara kebenaran," kata dia.

Sejak gagalnya Kesepakatan Oslo 1993, inisiatif perdamaian Israel-Palestina yang dipimpin AS selalu gagal. Pada tahun 2000, tepatnya saat perhelatan KTT Camp David, mantan presiden AS berusaha menyelamatkan elemen-elemen Kesepakatan Oslo. Namun upanya pun tak membuahkan hasil.  

Seiring jalannya waktu, proses perdamaian kian sulit dilakukan karena Israel terus menganeksasi Tepi Barat dengan proyek pembangunan permukiman yang dianggap ilegal menurut hukum internasional. 

Pada Desember 2017, Palestina akhirnya memutuskan mundur dari semua negosiasi perdamaian yang dipimpin AS. Langkah itu diambil setelah Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement