Rabu 03 Apr 2019 14:18 WIB

MA Filipina Meminta Dokumen Perang Narkoba Duterte

Jaksa Agung Muda Jose Calida sudah setuju untuk memberikan laporan polisi ke MA.

Rep: Lintar Satria/ Red: Andri Saubani
Presiden Duterte
Foto: ABC News
Presiden Duterte

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Mahkamah Agung (MA) Filipina mengeluarkan perintah untuk kepolisian merilis dokumen ribuan pembunuhan dalam perang narkoba Presiden Rodrigo Duterte. Organisasi hak asasi manusia melihat keputusan ini menjadi secercah cahaya dalam kasus pembunuhan ekstrayudisial di negara itu.

Pada Rabu (3/4) juru bicara Mahkamah Agung Filipina Brian Keith Hosaka mengatakan pengadilan memerintahkan jaksa pemerintah untuk memberikan laporan polisi kepada dua kelompok hak asasi manusia yang memintanya. Tapi sebanyak 15 anggota Mahkamah Agung yang bertemu di sebelah utara Kota Baguio belum mengeluarkan petisi terpisah yang menyatakan kampanye perang narkoba Duterte tidak konstitusional.

Sebelumnya Jaksa Agung Muda Jose Calida sudah setuju untuk memberikan laporan-laporan polisi ke Mahkamah Agung. Tapi, ia menolak memberikannya kepada dua kelompok hak asasi manusia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Filipina dan Pusat Hukum Internasional. Alasannya, karena langkah itu dapat membahayakan pihak berwenang dan keamanan nasional.

LBH Filipina dan Pusat Hukum Internasional menyambut baik keputusan Mahkamah Agung ini. "Ini langkah besar menuju transparansi dan akuntabilitas," kata Jose Manuel 'Chel' Diokno, ketua LBH Filipina.

Diokno mengatakan dokumen-dokumen tersebut dapat membantu pengacara hak asasi untuk meneliti upaya pemberantasan narkoba yang dilakukan polisi sejak Duterte naik ke kursi presiden pada pertengahan 2016 lalu. Pemberantasan narkoba itu menewaskan ribuan orang. Diokno menjelaskan Duterte dan polisi kerap mengatakan pembunuhan terjadi karena para tersangka melakukan perlawanan.

"Ini pernyataan tegas dari pengadilan tertinggi di negeri ini yang tidak akan membiarkan hukum diinjak-injak dalam upaya perang terhadap narkoba, dokumen-dokumen ini menjadi langkah awal menuju perjalanan panjang bagi pembuat petisi dan ribuan korban 'perang narkoba'," kata Presiden Pusat Hukum Internasional Joel Butuyan.

Selama perang narkoba lebih dari 5.000 pengedar kecil tewas dalam baku tembak dengan polisi. Memicu kekhawatiran pemerintah negara-negara Barat, pakar hak asasi manusia PBB dan organisasi-organisasi hak asasi manusia lainnya.

Duterte membantah memerintahkan pembunuhan ekstrayudisial. Meskipun secara terbuka ia mengancam pengedar narkoba akan dihukum mati. Pembunuhan ribuan orang ini memicu dua laporan pembunuhan massal ke Pengadilan Pidana Internasional.

Setelah mengadakan pertemuan dengan dua kelompok yang mengajukan petisi pada tahun 2017 lalu Mahkamah Agung Filipina memerintahkan jaksa agung muda untuk menyerahkan dokumen kampanye anti-narkoba. Termasuk daftar orang tewas dalam serbuan polisi pada dari 1 Juli 2016 sampai 30 November 2017. Serta dokumen kematian terkait narkoba dalam periode yang sama.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement