Sabtu 20 Apr 2019 11:06 WIB

Turki Masih Selidiki Agen Intelijen UEA di Kasus Khashoggi

Dua agen intelijen UEA ditangkap Turki dengan dugaan terlibat kasus Khashoggi.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Reiny Dwinanda
Ilustrasi Jamal Khashoggi
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Jamal Khashoggi

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Turki telah menangkap dua agen intelijen yang mengaku sedang melakukan aktivitas mata-mata atas nama Uni Emirat Arab (UEA). Turki masih menyelidiki kemungkinan intelijen tersebut memiliki kaitan dengan pembunuhan wartawan Arab Saudi, Jamal Khashoggi.

Seorang pejabat senior Turki yang enggan disebutkan namanya menyatakan, orang yang ditangkap ini telah dipantau selama enam bulan. Dari penangkapan itu, Turki menyita sebuah komputer terenkripsi.

Baca Juga

"Ada kemungkinan dia berupaya mengumpulkan informasi tentang orang-orang Arab, termasuk pembangkang politik yang tinggal di Turki," kata pejabat tersebut, Sabtu (20/4).

Pejabat itu juga mengatakan, pernyataan mata-mata yang dicurigai tersebut menyarankan agar operasi intelijen mereka menargetkan para mahasiswa politik dan orang-orang pengasingan. Mereka mengaku dipekerjakan oleh badan intelijen UEA.

Diketahui, Saudi dan UEA telah lama menjadi sekutu dekat selama krisis diplomatik Qatar pada 2017-2018. Namun, hingga kini belum ada bukti yang menunjukkan bahwa UEA terlibat dalam pembunuhan Khashoggi.

"Kami memiliki bukti cukup luas tentang aktivitas rahasia mata-mata ini," kata pejabat tersebut.

Arab Saudi telah mengajukan 11 orang ke pengadilan atas pembunuhan Khashoggi. Lima di antaranya terancam hukuman mati.

Sebuah laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis pada Februari menyatakan, Khashoggi adalah korban pembunuhan brutal dan terencana. Pembunuhan Khashoggi dilakukan oleh para pejabat Arab Saudi.

Jaksa penuntut umum Arab Saudi mengatakan, Khashoggi telah diberikan suntikan mematikan dan tubuhnya dimutilasi di dalam Konsulat Saudi, di Turki setelah kematiannya. Jaksa penuntut umum Saudi mengatakan, pembunuhan itu atas perintah perwira intelijen jahat, bukan perintah Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement