Kamis 09 May 2019 19:55 WIB

Uni Eropa Tolak Ultimatum Iran tentang Kesepakatan Nuklir

Iran mengancam akan kembali menjalankan program pengayaan nuklir.

Rep: deutsche-welle/ Red:
Uni Eropa Tolak Ultimatum Iran Tentang Kesepakatan Nuklir
Uni Eropa Tolak Ultimatum Iran Tentang Kesepakatan Nuklir

Dalam upaya untuk tidak hanya meninggalkan tetapi mengubur Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) 2015, Washington mengancam akan menuntut perusahaan Eropa jika mereka melakukan bisnis dengan Iran seperti yang diizinkan oleh perjanjian.

Sementara Iran mengancam akan kembali menjalankan aktivitas pengayaan nuklir dalam 60 hari jika Eropa tunduk pada desakan AS.

Tapi tidak ada drama birokrasi dari Uni Eropa karena ancaman tersebut. "Meskipun kami tidak menerima ultimatum apa pun," kata seorang pejabat senior Uni Eropa yang berbicara tanpa menyebut nama, "pengumuman Iran bukan merupakan pelanggaran atau penarikan perjanjian nuklir. Kami akan terus mematuhi komitmen kami selama Iran melakukannya. "

Baca juga:Iran Batalkan "Beberapa Komitmen" dalam Kesepakatan Nuklir 2015

Bisakah Eropa memenuhi harapan Teheran?

Seberapa nyata ancaman Iran hanya akan diketahui melalui pemantauan rutin Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang laporan berikutnya akan selesai dalam beberapa minggu. Pada 14 hasil pengawasan terakhir, Iran lulus dengan mulus.

Tetapi dengan sanksi AS yang mengancam di setiap kesempatan, tidak jelas apakah Eropa - atau mitra lainnya, Cina dan Rusia - akan dapat meningkatkan perdagangannya dengan Iran.

Ellie Geranmayeh dari Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri mengatakan kepada DW bahwa dia tidak berpikir kesepakatan itu masih dalam pergolakan fana karena tidak ada pihak yang ingin membiarkannya berantakan. Geranmayeh adalah penasihat pemerintah dan perusahaan Eropa selama negosiasi perjanjian berlangsung. Dia menganggap langkah Iran sebagai "tekanan eskalasi, tembakan peringatan, dan tidak melanggar kesepakatan secara signifikan."

Iran merasa telah memenuhi persyaratan, namun belum meraih manfaat ekonomi seperti yang dijanjikan, papar Geranmayeh. "[Teheran] berharap bahwa hal minimum yang dapat dilakukan Eropa adalah mengoperasionalkan mekanisme INSTEX" yang dirancang untuk memungkinkan pembayaran barang tanpa memicu sanksi AS. Proses itu telah berlangsung selama satu tahun, tapi belum dioperasikan, kata para pejabat.

Pada saat yang sama, Geranmayeh mengakui batas waktu yang diberikan oleh Teheran bermasalah karena jika tidak dipenuhi, risikonya Iran harus mengikuti kesepakatan. Uni Eropa tidak dapat membiarkan Iran membangkitkan kembali kekuatan nuklirnya, sehingga "pada suatu titik [Iran] akan mencapai garis merah Eropa jika ini terus berlanjut."

Di sisi lain, ia memperkirakan, pertaruhan berisiko tinggi ini mungkin bertujuan untuk memiliki nilai lebih untuk akhirnya melakukan negosiasi langsung dengan Amerika Serikat.

Terjebak di tengah dengan Uni Eropa

Uni Eropa, sementara itu, berada dalam "tempat yang tidak menyenangkan," menurut Jon Wolfsthal, seorang pakar non-proliferasi yang bertugas di pemerintahan Obama, dan ia terutama menyalahkan AS untuk itu.

"Ini adalah situasi yang tak diinginkan siapa pun," tegasnya. "Kesepakatan nuklir Iran berhasil: Iran mematuhi persyaratannya, Eropa menerapkannya dan AS mengimplementasikannya."

Namun pemerintahan Trump berargumen bahwa perjanjian itu membuat Teheran diloloskan terlalu mudah dalam upaya Iran mengendalikan nuklir dan bahwa langkah-langkah Iran lainnya juga harus dibatasi, seperti pengembangan rudal balistik dan dukungan untuk kelompok-kelompok proksi yang bermusuhan dengan AS di Timur Tengah.

Setelah AS keluar tepat setahun yang lalu, pemerintah AS terus melakukan segala kemungkinan untuk memecah lima penandatangan lainnya, Inggris, Prancis dan Jerman, ditambah Cina dan Rusia.

"Dia tidak memiliki solusi untuk bagaimana mencapai kesepakatan yang lebih baik tetapi sekarang akan menekan rezim Iran sebanyak yang dia bisa dan menempatkan orang Eropa di tengah," kata Wolfsthal. Ia menambahkan, bahwa tujuan pemerintah sedang dielakkan oleh keputusannya sendiri.

"Ada beberapa negara Eropa yang karena kurangnya itikad baik yang tersisa dengan Amerika Serikat, akan berpihak secara terbuka kepada Iran," dia memperkirakan, "ini bukan merupakan situasi yang diinginkan oleh Amerika Serikat."

Eropa dan AS

Sejalan dengan itu, pada hari yang sama Iran membuat pengumuman, sebuah surat terbuka dari direktur 18 lembaga think tank Eropa dirilis yang meminta AS untuk bergabung kembali dengan perjanjian tersebut.

Sebagian isi suratnya menuntut agar "pendukung JCPOA di seluruh dunia harus meningkatkan koordinasi untuk memastikan bahwa sanksi AS tidak menghambat stabilitas ekonomi dan kerja sama teknis nuklir Iran perlu mematuhi kesepakatan (...)

Yang terpenting, pendukung JCPOA di Eropa dan di tempat lain harus mengartikulasikan kembali manfaat perjanjian kepada berbagai audiens AS - dalam pemerintahan, Kongres, komunitas ahli dan media - sehingga jelas bahwa satu-satunya cara untuk menuai manfaat penuh dari JCPOA dan membangun di atasnya adalah untuk AS bergabung kembali."

Axel Hellman, seorang rekan kebijakan di Jaringan Kepemimpinan Eropa, yang membantu mengoordinasikan pesan bersama selama bulan lalu, mengatakan walau Iran tidak mengambil jalur paling dramatis yang bisa mereka lakukan, tetap saja potensinya berbahaya.

"Di Washington, banyak orang akan merujuk pada masalah ini dan mengatakan 'baiklah ini yang kami katakan selama ini, ini adalah kesepakatan yang buruk, Anda tidak bisa mempercayai Iran, kami perlu mengambil tindakan'," kata Hellman.

Lebih tidak jelas bagaimana kelanjutannya di Eropa, katanya. "Jelas risikonya sudah naik, tetapi masih ada waktu untuk solusi diplomatik."

Ini berlaku selama Teheran masih menerima aturan tentang aktivitas nuklir. Sebelum tenggat waktu 60 hari yang diberikan Iran, akan datang laporan IAEA. Jika itu menunjukkan pelanggaran, pejabat senior Uni Eropa meyakinkan, "kami akan bereaksi." (vlz/rzn)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement