Sabtu 11 May 2019 07:01 WIB

Donald Trump Isyaratkan Kemungkinan Serangan Militer ke Iran

Donald Trump mendesak Iran bernegosiasi untuk program nuklir.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump
Foto: AP Photo/Andrew Harnik
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengaku tak mengenyampingkan kemungkinan konfrontasi militer dengan Iran mengingat ketegangan yang terjadi di antara kedua negara. Dia mendesak para pemimpin Teheran untuk duduk dan membicarakan tentang penghentian program nuklir mereka. 

Dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih pada Kamis (9/5), Trump enggan menjelaskan alasannya mengerahkan kapal induk USS Abraham Lincoln ke kawasan Timur Tengah. Dia hanya menyebut bahwa ada ancaman yang belum ditentukan. 

Baca Juga

"Kami memiliki informasi yang tidak ingin Anda ketahui. Mereka sangat mengancam dan kami harus memiliki keamanan besar untuk negara ini dan banyak tempat lainnya," ujar Trump. 

Dia pun segera ditanya apakah ada risiko konfrontasi militer dengan kehadiran militer AS di kawasan tersebut. "Saya kira Anda bisa mengatakan itu selalu, kan? Saya tidak ingin mengatakan tidak, tapi mudah-mudahan itu tidak akan terjadi. Kami memiliki salah satu kapal paling kuat di dunia yang dimuat dan kami tidak ingin melakukan apa saja," katanya. 

Trump pun mengomentari tentang memanasnya hubungan AS dengan Iran terkait program nuklir. Menurut dia, Teheran seharusnya mengajaknya bicara. "Kita dapat membuat kesepakatan, kesepakatan yang adil, kita hanya tidak ingin mereka memiliki senjata nuklir, tidak terlalu banyak bertanya. Dan kita akan membantu mengembalikannya ke bentuk yang baik," ucap Trump. 

Jika sekiranya para pejabat Iran belum memiliki kesempatan bertemu, Trump pun membuka diri untuk melangsungkan percakapan via telepon. "Jika mereka melakukannya, kami terbuka untuk bicara dengan mereka," kata dia. 

Penasihat keamanan nasional AS John Bolton mengatakan belum ada indikasi atau peringatan serius tentang apakah Iran merencanakan kemungkinan serangan. Dia hanya menegaskan bahwa AS hendak mengirim pesan yang jelas kepada Teheran. 

"AS tidak mencari perang dengan rezim Iran, tapi kami sepenuhnya siap menanggapi serangan apa pun, apakah dengan proksi, Garda Revolusi Iran, atau pasukan reguler Iran," ucap Bolton, dilaporkan laman CBS.

Sementara itu, Duta Besar Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi mengatakan negaranya telah melakukan pembicaraan dengan enam negara kekuatan dunia, termasuk AS, dalam kerangka kesepakatan nuklir. Ravanchi justru menyebut Trump yang meninggalkan pembicaraan tersebut. 

"Tiba-tiba dia memutuskan untuk meninggalkan meja perundingan. Apa jaminan dia tak akan mengingkari lagi," ujarnya dalam sebuah wawancara dengan MSNBC, dikutip Hurriyet. 

Kepala Biro Politik Garda Revolusi Iran Yadollah Javani menuding AS telah menyebar ancaman dengan mengerahkan kapal induk ke Teluk. Oleh sebab itu, negaranya telah mengesampingkan opsi negosiasi dengan AS. "Tidak ada pembicaraan yang akan dilakukan dengan Amerika, dan Amerika tidak akan berani mengambil tindakan militer terhadap kami," ujar Javani. 

Dia pun menyangsikan pemerintahan Trump dengan janji-janji yang selalu diumbarnya. "Iran melihat Amerika tak dapat diandalkan," ucapnya. 

Di luar perseteruan tersebut, Trump juga telah menduh mantan menteri luar negerinya, John Kerry, telah melanggar hukum federal. Trump menyebut Kerry menjalin kontak dengan Iran. Perbuatan Kerry, menurut Trump, melanggar Undang-Undang Logan (Logan Act) 1799. 

Menurut UU itu, adalah sebuah kejahatan bagi warga negara AS untuk bernegosiasi dengan pemerintah asing yang berselisih denga Washington. "Dia (Kerry) berbicara dengan Iran dan memiliki banyak pertemuan serta panggilan telepon, dan dia mengatakan kepada mereka apa yang harus dilakukan. Itu adalah pelanggaran total dari Logan Act," kata Trump.

Seorang juru bicara Kerry telah membantah tuduhan Trump. "Dia (Trump) salah tentang fakta, tentang hukum, dan sayangnya dia salah tentang cara menggunakan diplomasi untuk menjaga keamanan Amerika," kata juru bicara Kerry. 

"Kami berharap presiden akan fokus pada penyelesaian masalah kebijakan luar negeri untuk Amerika daripada menyerang pendahulunya untuk teater," ujar juru bicara tersebut. 

Kerry adalah menteri luar negeri AS yang menegosiasikan kesepakatan nuklir Iran pada 2015. Kala itu, AS masih dipimpin Barack Obama. 

Pada Mei tahun lalu Trump memutuskan menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran. Menurut dia, kesepakatan tersebut cacat karena tak mengatur tentang program rudal balistik Iran, kegiatan nuklirnya selepas 2025, dan perannya dalam konflik Yaman serta Suriah. 

Setelah menarik AS, Trump pun menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sanksi itu membidik sektor energi, otomotif, dan keuangan Iran. Pada Rabu lalu, Trump memerintahkan penerapan sanksi baru untuk Teheran yang mengincar industri logam negara tersebut. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement