Sabtu 27 Apr 2019 12:04 WIB

PBB Minta Bantuan ke Pengungsi Rohingya Berlanjut

PBB menilai Rohingya menjadi salah satu krisis pengungsi terbesar di dunia.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pengungsi Rohingya
Foto: AP Photo/Dar Yasin, File
Pengungsi Rohingya

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Komisaris PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi menyerukan komunitas internasional untuk terus mendukung kebutuhan kritis para pengungsi Rohingya. Hal itu dia ungkapkan setelah melakukan kunjungan ke kamp-kamp pengungsi pada Jumat (26/4). 

Grandi mencatat, hampir separuh dari 540 ribu anak-anak pengungsi berusia di bawah 12 tahun. Saat ini mereka sama sekali tidak memperoleh pendidikan. Sedangkan, sisanya hanya memiliki akses ke sekolah yang terbatas. 

Baca Juga

Hanya segelintir anak remaja yang dapat mengakses segala bentuk pendidikan atau pelatihan. "Ini tetap menjadi salah satu krisis pengungsi terbesar di dunia," kata Grandi.

Grandi mengaku melihat banyak kemajuan. Namun, situasi para pengungsi, terutama perempuan dan anak-anak, masih rapuh. "Dengan krisis saat ini hampir dua tahun, kita harus memberi para pengungsi kesempatan untuk belajar, membangun keterampilan, dan berkontribusi pada komunitas mereka sambil juga mempersiapkan reintegrasi ketika mereka dapat kembali ke Myanmar," ujarnya.

Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional. 

Pada November 2017, Bangladesh dan Myanmar menyepakati pelaksanaan repatriasi. Tahun lalu, kedua negara memulai proses pemulangan sekitar 2.200 pengungsi. Namun, proses tersebut dikritik oleh sejumlah negara, termasuk PBB. 

PBB menilai sebelum benar-benar dipulangkan, para pengungsi seharusnya diberi izin untuk melihat situasi serta kondisi di Rakhine. Dengan demikian, mereka dapat menilai dan menyimpulkan sendiri apakah dapat pulang dengan aman ke sana. Di sisi lain, PBB masih menyangsikan bahwa hak-hak dasar Rohingya, terutama status kewarganegaraan, dapat dipenuhi oleh Myanmar. 

Pada 11 Maret lalu, pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Yanghee Lee menyerukan Dewan Keamanan PBB agar kasus kekerasan Rohingya dibawa ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC). Menurut dia, para korban seharusnya tidak dibiarkan untuk menunggu proses peradilan internasional. "Jika tidak mungkin untuk merujuk situasinya ke ICC, komunitas internasional harus mempertimbangkan untuk membentuk pengadilan independen," kata Lee.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement