Rabu 15 May 2019 17:43 WIB

Memperingati 71 Tahun Nakbah: Menyuarakan Palestina Merdeka

Hari Nakbah kini memasuki tahun ke-71, menandakan perjuangan Palestina Merdeka

(Ilustrasi) Seorang pengungsi Palestina di kamp pengungsian Jaramana, Damaskus, Suriah, setelah terusir dari kampung halamannya.
Foto: tangkapan layar wikipedia
(Ilustrasi) Seorang pengungsi Palestina di kamp pengungsian Jaramana, Damaskus, Suriah, setelah terusir dari kampung halamannya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini tepat 71 tahun peringatan Hari Nakbah bagi bangsa Palestina. Nakbah berarti 'petaka' atau 'kehancuran.' Petaka karena Israel berdiri di atas wilayah Palestina. Pada 1948 silam, entitas zionis itu mulai menjajah Palestina. Langkah gegabah itu disokong penuh Barat saat itu, termasuk Britania Raya dan Amerika Serikat (AS).

Jutaan warga Palestina pun terusir dari Tanah Air sendiri. Sekitar 80 persen wilayah Palestina lantas dijarah. Hingga kini, semua itu masih diklaim Israel sebagai miliknya—termasuk Yerusalem Timur, ibu kota abadi Palestina.

Baca Juga

Bangsa Palestina tinggal hanya di wilayah sisanya, utamanya Jalur Gaza dan Tepi Barat. Itu pun masih di bawah kepungan militer Israel yang selalu mengancam. Malahan, Jalur Gaza kini dapat dianggap penjara terbesar di muka bumi.

 

Hari Kembali Pulang

Setiap tahun, Hari Nakbah diperingati bangsa Palestina dengan serangkaian aksi unjuk-rasa damai. The Great March of Return, demikian nama khas demonstrasi itu sejak setahun lalu.

Rakyat Palestina bersuara menuntut kembalinya hak mereka, kedaulatan bangsa mereka, serta Tanah Air yang merdeka dari kolonialisme.

Pada tahun lalu, The Great March of Return dicanangkan sejak 30 Maret 2018. Tanggal tersebut juga mengawali perayaan Hari Tanah. Hingga 15 Mei 2018, tercatat ratusan ribu warga Palestina berpawai mendekati perbatasan Jalur Gaza. Mereka menyuarakan tekad kuat untuk kembali ke Tanah Air tercinta.

Demonstrasi Hari Nakbah itu terbilang lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya. Apalagi, konteksnya saat itu lebih gawat.

Presiden Donald Trump mulai memindahkan kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah ini menandakan Negeri Paman Sam secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Tidak hanya negara-negara Islam yang menentangnya. Para sekutu AS di Eropa Barat juga mengecam kebijakan sembrono Trump itu.

 

Mulanya Hari Nakbah

Istilah al-Nakbah tak lepas dari pemikiran Prof Constantin K Zurayk (1909–2000), guru besar ilmu sejarah American University of Beirut (AUB, Lebanon). Bukunya, The Meaning of Disaster (1948) atau dalam bahasa Arab, Ma’na al-Nakbah, memopulerkan istilah itu. Melalui karyanya, pendukung ideologi Pan-Arabisme itu menekankan pentingnya autokritik bangsa Arab.

Sebagai contoh, dikatakannya bahwa Nakbah Palestina dipicu bukan hanya oleh aneksasi zionis, tetapi juga ketertinggalan bangsa Arab sendiri dalam banyak bidang era modern. Karena itu, akademisi kelahiran Damaskus (Suriah) tersebut mengimbau seluruh elemen Arab untuk meninggalkan fanatisme kesukuan (ashabiyah) dan fatalisme. Mari semuanya bersatu melawan zionisme, kira-kira demikian.

Tentu saja, Israel memandang Hari Nakbah secara berbeda. Bagi zionis, itu momen proklamasi berdirinya “negara” Israel. Tepatnya, pada 15 Mei 1948. Bagaimanapun, pengusiran bukanlah kemerdekaan. Apa yang mereka lakukan hanya memulai babak baru penderitaan bagi sesama manusia.

Di Hari Nakbah, sekira 750 ribu rakyat Palestina terusir dari rumah-rumah mereka lantaran serbuan militer Israel. Ya, kaum zionis saat itu memenangkan pertempuran yang berlangsung sejak November 1947. Tentara Israel menjarah dan merampas tak kurang dari 600 perdesaan Palestina.

Ratusan ribu warga Palestina yang terusir dari Tanah Air sendiri itu lantas mengungsi ke negeri-negeri tetangga. Bila dibandingkan dengan data UNRWA, jumlah pengungsi Palestina sejak Hari Nakbah itu kian membengkak.

photo
Pengungsi Palestina/ilustrasi

Pada Januari 2015, jumlah pengungsi Palestina tak kurang dari 5.149.742 jiwa. Sebanyak 1,6 juta di antaranya tinggal di barak-barak pengungsian. Sisanya tersebar tak hanya di kawasan Arab, tetapi juga jauh hingga ke Amerika.

Menyaksikan fakta ini, masihkah nurani dan akal sehat berpikir merayakan 15 Mei sebagai Hari Jadi Israel? Sungguh tidak layak entitas yang berdiri di atas kejahatan kemanusiaan mendapatkan penghargaan. Entitas yang sejak semula dan kian jelas kini menjadi negara homogen: mono-agama, mono-suku, mono-budaya, alih-alih demokratis yang merayakan keberagaman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement