Jumat 17 May 2019 16:32 WIB

Nakba, Ketika Rakyat Palestina Menghadapi Hari Kehancuran

Palestina satu-satunya negara peserta Konferensi Asia Afrika yang belum merdeka.

Rep: Lintar Satria/ Red: Ani Nursalikah
Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun.
Foto: Republika/Zahrotul Oktaviani
Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun menjelaskan istilah Nakba yang artinya kehancuran atau kesulitan hidup. Al-Shun mengatakan kehancuran yang dimaksud adalah kehancuran yang dilakukan Yahudi dalam mendirikan negara Israel dengan merampas tanah rakyat Palestina.

"Tanah-tanah kami dirampas, kehidupan kami sulit, dipersulit bahkan, semua dipersulit jadi kami seolah kehilangan arah tidak tahu bagaimana menjalankan hidup dengan normal," kata Al-Shun, di Jakarta, Kamis (17/5).

Baca Juga

Al-Shun mengatakan ketika dijajah, semua semua kehidupan akan hancur, sangat sulit menjalani kehidupan. Al-Shun mengatakan sebenarnya Nakba sebuah istilah yang diciptakan Palestina karena penjajahan Israel.

"Jadi kalimat Nakba itu kami khususkan atas kejadian-kejadian yang terjadi di negara kami, dari awal sampai sekarang memang betul lebih kurang 80 persen rakyat kami hidup di luar Palestina," kata Al-Shun.

Hal itu karena Israel mengusir dan mencuri tanah rakyat Palestina. Penjajahan dan Israel terus mempersulit hidup rakyat Palestina sehingga mereka terpaksa keluar dari tanah air mereka.

Palestina adalah satu-satunya negara peserta Konferensi Asia-Afrika 1955 yang sampai saat ini belum merdeka. Penjajahan Israel atas Palestina masih berlangsung dan berbagai pelanggaran terhadap warga Palestina pun masih dilakukan.

Nakba adalah hari dimana rakyat Palestina terpaksa mengungsi karena Yahudi mengambil tanah mereka untuk mendirikan negara Israel pada 15 Mei 1948. Dalam peringatan 71 tahun, Nakba organisasi kemanusiaan dunia Amnesty International mengecam Israel karena tidak memberikan hak warga Palestina yang terpaksa mengungsi pada 1948 untuk kembali pulang ke rumah mereka.

"Pada pekan ini hampir 200 juta orang akan mendengarkan lagu-lagu kontestan Eurovison di Israel, tapi dibalik germelap dan glamor acara itu, beberapa orang akan berpikir tentang peran Israel dalam membuat pengungsi Palestina menderita selama berpuluh-puluh tahun," kata Direktur Penelitian dan Advokasi Amnesty Internasional untuk Timur Tengah Philip Luther dikutip dari situs resmi Amnesty International.

photo
Aksi perlawanan rakyat Palestina.

Luther mengatakan tidak ada solusi jangka panjang untuk krisis pengungsi Palestina sampai Israel menghargai hak mereka untuk pulang. Pada saat yang sama, pemerintah Lebanon dan Yordania juga harus memaksimalkan pengaruh mereka untuk menghentikan penderitaan rakyat Palestina dengan mencabut undang-undang yang diskriminatif dan menghilangkan halangan pengungsi Palestina untuk mendapat pekerjaan.

Amnesty International melaporkan saat ini tercatat ada 5,2 juta pengungsi Palestina. Sebagian besar mereka berada di Yordania, Lebanon, Suriah dan Teritorial Palestina yang dijajah Israel (OPT).

Banyak dari para pengungsi, baik di OPT maupun di luar negeri hidup selama bertahun-tahun di kamp-kamp penuh dan padat. Mereka juga tidak mendapatkan layanan dasar dari pemerintah setempat.

"Pengungsi Palestina di Lebanon, Yordania dan OPT terjebak dalam lingkaran perampasan hak dan diskriminasi yang sistematis tanpa ada tanda-tanda akan berakhir, banyak dari mereka hidup dalam kekangan yang mencekik dan seperti hidup di neraka," kata Luther.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement