Rabu 08 May 2019 09:58 WIB

Selandia Baru akan Keluarkan Undang-Undang Perubahan Iklim

Undang-undang ini menjadi janji pemerintah terpilih.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Terumbu karang Great Barrier Reef di Australia memutih dan kehilangan penutupnya akibat badai, perubahan iklim dan ledakan populasi bintang laut berduri
Foto: REUTERS
Terumbu karang Great Barrier Reef di Australia memutih dan kehilangan penutupnya akibat badai, perubahan iklim dan ledakan populasi bintang laut berduri

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON — Pemerintah Selandia Baru memperkenalkan Undang-undang terbaru mengenai perubahan iklim pada Rabu (8/5). Undang-undang ini bertujuan untuk menjadikan negara itu memiliki sebagian besar netral karbon pada 2050, membuat sejumlah peluang bagi warga yang berprofesi sebagai petani. 

Namun, beberapa kelompok industri pertanian mengatakan langkah-langkah itu tetap terlalu berat dan mengancam masa depan komunitas regional. Sementara, sejumlah aktivis lingkungan menilai undang-undang itu belum cukup kuat, karena tak ada hukuman berat bagi mereka yang melanggar. 

Undang-undang mengenai perubahan iklim di Selandia Baru menjadi janji dari pemerintah negara itu, yang baru terpilih 18 bulan lalu. Dalam gerakan ambisius untuk melindungi dan mencintai lingkungan, pemerintah juga telah berjanji melakukan penanaman 1 miliar pohon selama 10 tahun. 

Pemerintah Selandia Baru juga memastikan bahwa jaringan listrik akan sepenuhnya berasal dari energi terbarukan pada 2035. Dalam rancangan undang-undang (RUU) perubahan iklim tersebut, semua gas rumah kaca, kecuali metana yang berasal dari hewan harus bersih hingga menjadi nol pada 2050. 

Emisi metana di Selandia Baru diperkirakan akan berkurang 10 persen pada 2030 dan mencapai seperempat atau bahkan setengahnya pada 2050. Selama ini, perubahan iklim menjadi isu hangat di Selandia Baru, di mana pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern mengatakan hal itu sebagai tantangan terbesar yang dihadapi dunia saat ini. 

“Kami tahu iklim sedang berubah, orang-orang juga dapat melihat itu. Dengan undang-undang ini, penanganan perubahan iklim dimulai karena jika tidak, maka harga yang harus dibyara sangat besar,” ujar Ardern dilansir ABCNews, Rabu (8/5). 

Selandia Baru memiliki sumber pendapatan utama yang berasal dari pertanian. Bahkan, negara itu dikenal menjadi rumah bagi lebih dari 10 juta sapi dan 28 juta domba, sementara jumlah orang-orang yang berada di sana tercatat kurang dari 5 juta. 

Hewan-hewan ternak dan banyak lainnya selama ini diketahui menghasilkan metana dari sendawa dan buang angin. Hal itu membuat emisi gas rumah kaca yang tinggi di Selandia Baru. 

Hampir setengah dari total emisi di Selandia Baru berasal dari kegiatan pertanian. Dalam RUU perubahan iklim, dikatakan bahwa target yang lebih rendah untuk pengurangan metana mencerminkan bahwa gas itu tinggal di atmosfer jauh lebih singkat dibanding karbon dioksida. 

Kepala eksekutif Asosiasi Industri Daging Selandia Baru, Tim Ritchie mengatakan bahwa pengolah dan eksportir daging khawatir dengan target tersebut. Menurutnya hal itu hanya dapat tercapai dengan dikuranginya jumlah ternak.

"Ini akan membebankan biaya ekonomi yang sangat besar pada negara dan mengancam banyak komunitas regional yang bergantung pada pertanian,” ujar Ritchie. 

Sementara itu, direktur eksekutif Greenpeace di Selandia Baru, Russel Norman mengatakan RUU perubahan iklim hanya memiliki sedikit pengaruh. Ia menilai tak ada mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban dari siapapun. 

RUU dapat mulai berlaku dengan disahkan terlebih dahulu oleh mayoritas di Parlemen Selandia Baru. Pemungutan suara tahap akhir atas undang-undang perubahan iklim ini diharapkan untuk dilakukan pada akhir 2019.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement