Senin 20 May 2019 18:26 WIB

Filipina Pilih Utang dari Cina Dibandingkan Tawaran AS

Filipina memilih utang dari Cina karena ketidakjelasan dukungan AS.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nur Aini
Presiden Filipina Rodrigo Duterte
Foto: AP Photo / Bullit Marquez
Presiden Filipina Rodrigo Duterte

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Menteri Luar Negeri Filipina, Teodoro Locsin mengungkapkan, Presiden Rodrigo Duterte lebih menyukai tawaran pinjaman dan investasi Cina daripada Amerika Serikat (AS). Hal itu terjadi di tengah meningkatnya persaingan antara AS dan Cina.

"Tawaran Cina untuk kemitraan strategis sedikit lebih menarik daripada tawaran kebingungan strategis AS saat ini," kata Locsin, dilansir dari Straits Times, Senin (20/5).

Baca Juga

Locsin merujuk saat mantan presiden AS Barack Obama, dalam kunjungannya ke Manila pada 2014 yang tidak memberikan jaminan jelas bahwa AS akan mendukung Filipina melawan Cina jika terjadi konflik di Laut Cina Selatan.

Sejak itu, pemerintahan Presiden Donald Trump bersusah payah menekankan bahwa AS mendukung Filipina. Namun, Filipina tetap menjadi sekutu militer AS. Locsin mengatakan, ia ingin mempertahankan perjanjian pertahanan yang sudah hampir tujuh dekade dengan AS.

"Selalu jelas, bahwa dalam perang, kita adalah sekutu Amerika Serikat. Tidak ada pertanyaan tentang itu," kata Locsin.

Ketegangan terjadi antara AS dan Cina di Laut Cina Selatan di tengah perang dagang yang sedang berlangsung. AS juga mengirim dua kapal perang di dekat pulau yang disengketakan awal bulan ini, sebuah langkah yang mendapat tentangan dari Cina.

Duterte berencana untuk lebih meningkatkan hubungan dengan Cina dalam sisa tiga tahun masa jabatannya. Locsin mengatakan, persahabatan baru Manila dengan Beijing telah menghasilkan pendanaan infrastruktur, kesepakatan perdagangan, dan investasi.

Pembicaraan komersial tentang pakta eksplorasi bersama yang ditandatangani oleh Duterte dan Presiden Cina, Xi Jinping pada November dapat dimulai akhir tahun ini. Cina juga telah meningkatkan upaya untuk memblokir negara-negara lain dari penggalian sumber daya energi di Laut Cina Selatan.

Sebuah keputusan pada 2016 oleh panel arbitrase internasional di Den Haag menolak klaim Cina atas bagian laut tersebut. Akan tetapi, keputusan tersebut gagal menghentikan kegiatan Cina di wilayah yang juga diklaim oleh Filipina, Vietnam, Brunei, Malaysia, dan Taiwan.

"Perjanjian pertahanan kami dengan AS tidak menghalangi peningkatan atau memperdalam hubungan ekonomi dengan Cina. Dalam hal itu, kami sangat jauh tertinggal di kawasan. Kami bukan yang terbesar atau paling terkait dengan ekonomi mereka," ucap Locsin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement