Rabu 19 Jun 2019 14:59 WIB

90 Tahun Jürgen Habermas: Filsuf yang Pantang Diam

Sejak muda, gagasan-gagasan Habermas memang selalu menolak fanatisme dan konflik.

Rep: deutsche-welle/ Red:
90 Tahun Jürgen Habermas: Filsuf dan Intelektual Yang Pantang Diam
90 Tahun Jürgen Habermas: Filsuf dan Intelektual Yang Pantang Diam

Pada usia 90 tahun, Jürgen Habermas tetap produktif dan mempersiapkan buku terbarunya, yang akan menjadi karya besar terakhirnya. Tidak tanggung-tanggung, Habermas mengulas panjang lebar mengenai Agama dan Pengetahuan. Buku setebal 1700 halaman itu rencananya akan dirilis menjelang akhir tahun ini.

Habermas dilahirkan 18 Juni 1929 di kota Düsseldorf. Sekarang dia menghabiskan masa tuanya di kota kecil Starnberg di selatan Jerman. Antara tahun 1949 sampai 1954 dia kuliah di Universitas Göttingen, Zürich dan Bonn, terutama mendalami bidang Filasafat, Sejarah, Psikologi, Sastra dan Ekonomi.

Namun nama Habermas akan selalu dikaitkan dengan nama sebuah kota lain: Frankfurt. Di sanalah dia berkiprah dan menjadi salah satu pentolan Frankfurter Schule (Mahzab Frankfurt), yang didasarkan pada pendekatan Teori Kritis.

Habermas lulus dari Universitas Bonn dan mendapat gelar Profesornya tahun 1961 di Marburg. Tahun 1964 dia diangkat sebagai guru besar di Jurusan Filsafat dan Sosiologi di Universitas Frankfurt.

Sejak masa mudanya, ketika masih kuliah, Habermas sudah rajin menulis di berbagai media, sebagai jurnalis dan sebagai penulis. Tahun 1955 dia menikah dengan Ute Wesselhoeft.

Mereka mempunyai tiga anak, satu lelaki dan dua perempuan: Tilmann Habermas, sejak 2002 Profesor untuk Psikonalisa di Universitas Frankfurt, Rebekka Habermas, sejak tahun 2000 Profesor untuk Sejarah di Universitas Göttingen dan Judith Habermas, yang bekerja di bidang penerbitan.

Pemikir kritis Mahzab Frankfurt

Habermas merebut perhatian tahun 1953, ketika ia menulis resensi buku filsuf terkemuka Jerman Martin Heiddegger "Pengantar Metafisika" di harian terkemuka Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ). Habermas muda dengan tegas mengecam sikap Heidegger yang menurutnya masih tetap mendukung ideologi biadab rejim Nazi dan Adolf Hitler.

Sejak muda, gagasan-gagasan Habermas memang selalu menolak fanatisme dan konflik. Dia berusaha memecahkan "peperangan-peperangan besar" melalui dialog, yang akhirnya bermuara pada karya utamanya: "Theorie des komunikativen Handelns" (Teori Tindakan Komunikatif) yang dirilis tahun 1981. Dalam bukunya dia mengulas pemikir-pemikir besar seperti George Herbert Mead, Max Weber, Emile Durkheim, Talcott Parsons, Georg Lukacs dan Theodor W. Adorno.

Pada masa-masa kebangkitan gerakan pemuda di Eropa tahun 1967/68, Jürgen Habermas menjadi salah satu ilmuwan yang lantang bersuara sambil tetap melakukan analisa-analisa perubahan masyarakat. Dia secara tegas menolak aksi-aksi kekerasan dan menolak kelompok-kelompok yang mempropagandakan kekerasan untuk melakukan perubahan.

Saat itu, Habermas sudah memperingatkan bahwa cara-cara "polarisasi dengan segala cara", yang sering digunakan kelompok-kelompok mahasiswa adalah "strategi yang membawa sengsara". Banyak aktivis kiri yang kemudian mengambil jarak dari Habermas karena posisi itu.

Merebut ruang dialog dan komunikasi

Sampai usia lanjut, Habermas masih sering terlibat dalam polemik dan debat tentang etika dan kebebasan. Namun dia tetap setia pada kredonya menolak kekerasan dan menawarkan solusi integratif melalui dialog dan komunikasi.

Namun Habermas mengikuti perubahan masyarakat selalu dengan sikap kritis. Ketika Jerman dilanda eforia reunifikasi tahun 1990-an, Habermas mengeritik prosedur penyatuan Jerman yang disebutnya "proses administrasi yang hanya dipusatkan pada imperatif ekonomi". Ketika di Jerman muncul diskusi mengenai pembatasan hak-hak suaka, Habermas mengecam gagasan-gagasan dan argumentasi yang dikemukakan sebagai "mentalitas chauvinisme kemakmuran".

Sejak 1997 Jürgen Habermas mengurus jurnal bulanan "Blätter für deutsche und internationale Politik". Tahun 2007 dia membuka konferensi di Roma tentang "Agama dan Masyarakat Post-Sekular".

Dia beberapa kali terlibat diskusi dengan wakil-wakil gereja mengenai Posisi Agama dan Sistem Etika Masyarakat dan memperingatkan dampak-dampak buruk kapitalisme serta pentingnya membela apa yang disebutnya "barang langka Solidaritas" yang dia katakan bisa punah jika tidak dipertahankan dengan segala daya.

Karya terakhir Jürgen Habermas yang akan terbit akhir tahun ini "Agama dan Pengetahuan" tampaknya memang melanjutkan pemikiran-pemikiran dan cita-cita yang sudah diembannya sejak muda. Yaitu bagaimana menghentikan konlik, kekerasan dan perang, dan mengintegrasikan masyarakat yang makin heterogen dan kompleks dalam sebuah sistem nilai yang tetap menjamin tumbuhnya kebebasan, solidaritas dan komunikasi yang langgeng. (yp)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement