Sabtu 22 Jun 2019 08:09 WIB

Trump Sempat Perintahkan Serang Iran Lalu Membatalkannya

Pesawat dan kapal laut berada di posisi menyerang ketika perintah pembatalan datang.

Red:
abc news
abc news

Media The New York Times dan kantor berita Associated Press melaporkan, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memerintahkan serangan ke Iran pada Kamis (20/6/2019) malam tetapi membatalkan operasi tersebut ketika pasukan sudah siap untuk menyerang.

Poin utama:

• Pesawat-pesawat tempur AS dilaporkan siap untuk menyerang ketika perintah untuk menarik pasukan datang

• Iran telah memeringatkan negaranya "sepenuhnya siap untuk perang"

• Militer Iran mengunggah rekaman yang menunjukkan mereka menembaki drone militer AS

 

Seorang pejabat senior mengatakan kepada The New York Times bahwa Trump menyetujui serangan terhadap sejumlah fasilits Iran seperti radar dan baterai rudal.

Menurut laporan itu, operasi pembalasan atas penembakan pesawat tak berawak atau drone AS sudah dalam tahap awal, dengan pesawat di udara dan kapal laut berada di posisi menyerang ketika perintah untuk membatalkan operasi datang.

Tidak ada rudal yang ditembakkan.

The New York Times mengatakan tidak jelas apakah Trump "hanya mengubah pikirannya pada serangan itu atau apakah pemerintahannya mengubah arah karena logistik atau strategi. Juga tidak jelas apakah serangan itu mungkin masih berlanjut".

Laporan ini muncul ketika ketegangan terus meningkat setelah Iran menembak jatuh drone AS di Selat Hormuz, jalur pelayaran yang telah menjadi lokasi serangan terhadap tanker minyak, baru-baru ini.

AS, yang meningkatkan tekanan sanksi terhadap Iran, menyalahkan Iran atas serangan itu, klaim yang ditolak oleh Pemerintah di Teheran.

Seorang jenderal Iran memeringatkan bahwa negaranya "sepenuhnya siap untuk perang" setelah militernya mengunggah rekaman video dramatis yang menunjukkan, apa yang disebut mereka sebagai, momen ketika drone ditembakkan ke langit.

Video tersebut menunjukkan rudal darat-udara yang diluncurkan dan ledakan di langit.

 

Komandan Garda Revolusi Iran mengatakan penembakan drone AS itu mengirim "pesan yang jelas" ke Amerika.

"Kami tak memiliki niat untuk berperang dengan negara mana pun, tetapi kami sepenuhnya siap untuk perang," kata Jenderal Hossein Salami dalam pidato yang disiarkan televisi.

Pemerintahan Trump menggabungkan upaya "penekanan maksimum" dari sanksi ekonomi dengan penumpukan pasukan Amerika di wilayah tersebut.

Sementara Iran menggambarkan jatuhnya drone itu sebagai pertahanan yang disengaja atas wilayahnya ketimbang sebuah kesalahan. Di sisi lain, AS mengatakan pesawat tak berawak itu ditembak jatuh di wilayah udara internasional.

Otoritas Penerbangan Federal AS (FAA) telah mengeluarkan perintah darurat yang melarang maskapai penerbangan AS terbang di wilayah udara yang dikontrol Iran karena meningkatnya ketegangan.

Seorang juru bicara Qantas mengatakan maskapai itu juga menyesuaikan jalur penerbangan di Timur Tengah untuk menghindari Selat Hormuz dan Teluk Oman sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Gestur rekonsiliasi

 

Bryce Wakefield, direktur eksekutif Institut Hubungan Internasional Australia, mengatakan penting untuk dicatat bahwa kedua pihak telah menggunakan beberapa "bahasa rekonsiliasi yang melekat dalam ketegangan di antara mereka".

"Apa yang tampak saat ini adalah bahwa kedua belah pihak berusaha terlihat tangguh sambil mencoba mengirimi mereka pesan bahwa mungkin ada beberapa jalan keluar dari ini," kata Dr Wakefield.

"Iran telah mengatakan bahwa mereka tak ingin berperang, tetapi siap jika diperlukan."

"Trump sudah goyah antara apa yang tampaknya seperti memerintahkan perang dan kemudian mundur, dan juga membuat beberapa gestur rekonsiliasi."

Namun, ia mengatakan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, telah menetapkan "batasan yang sangat jelas", dan itu adalah AS akan berperang ketika seorang pasukan AS diserang dan kehilangan nyawanya.

"Pesan itu memberi ruang bagi Iran untuk bermanuver ... hingga batasan itu, yang menimbulkan kejengkelan, tetapi juga memberi tahu Iran kapan harus berhenti," katanya.

Perkembangan terakhir ini terjadi kurang dari seminggu setelah AS menuduh Iran menyerang dua kapal tanker minyak, yang mendorong Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman meminta masyarakat internasional untuk mengambil "sikap tegas" terhadap Iran.

Iran juga mengancam akan mematahkan batas cadangan uranium yang ditetapkan melalui kesepakatan nuklir Teheran dengan kekuatan dunia.

Kesepakatan 2015 yang penting ini terus merosot sejak pemerintahan Trump menarik diri dari kesepakatan tahun lalu dan menerapkan kembali sanksi ekonomi yang keras terhadap Iran, membuat ekonomi negara itu jatuh bebas.

Pada hari Kamis (20/6/2019), Iran menyebut sanksi itu sebagai "terorisme ekonomi", bersikeras drone itu telah menyerang wilayah udaranya dan mengatakan sedang membawa kasusnya ke PBB dalam upaya untuk membuktikan bahwa AS berbohong tentang pesawat yang terbang di atas perairan internasional.

Ia melayangkan tuduhan terhadap AS atas "tindakan yang sangat berbahaya dan provokatif".

Ikuti berita-berita lain dari situs ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement