Selasa 18 Jun 2019 22:22 WIB

Jalur Sutra Baru Cina ke Eropa Berakhir di Duisburg, Jerman

Bahasa Mandarin akan membantu mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan.

Rep: deutsche-welle/ Red:
Jalur sutra baru Cina ke Eropa berakhir di Duisburg, Jerman.
Jalur sutra baru Cina ke Eropa berakhir di Duisburg, Jerman.

Di kantor kepala sekolah menengah Max Planck di Duisburg buku-buku teks berbahasa Cina tersebar di meja konferensi. Piring-piring dan aksesori Cina menghiasi sebuah meja rendah di dekatnya. Bahkan di dinding ada puisi Cina.

"Trennya jelas: Kita harus bekerja sama dengan Cina," kata Kepala Sekolah Gabriele Rüken, sambil menekankan bahwa Duisburg sedang mengembangkan "ikatan budaya dan ekonomi yang erat."

Karena itu, dia memutuskan mulai tahun depan menawarkan pelajaran Bahasa Mandarin di sekolahnya mulai kelas tujuh, di samping bahasa Prancis dan Inggris.

Rüken mengatakan, pelajaran Bahasa Mandarin akan membantu mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan. "Dengan mempelajari bahasa Mandarin, siswa akan dapat melihat gambaran yang baik (tentang Cina) dan perusahaan-perusahaan di Duisburg akan sangat tertarik pada lulusan dengan pengetahuan bahasa Mandarin," katanya.

Ikatan lama

Ikatan antara Duisburg dan Cina sudah ada hampir 40 tahun. Tahun 1982, Duisburg dan kota pelabuhan Wuhan di Cina menjadi mitra kota kembar. Sejak saat itu, hubungan Duisburg dengan Cina makin erat.

Saat ini, ada sekitar 2.000 mahasiswa Cina yang belajar di universitas-universitas di Duisbrug dan sekitarnya. Sekitar 100 perusahaan Cina telah mendirikan cabang dan toko di Duisburg.

"Kami saat ini sedang dalam pembicaraan dengan investor Cina yang ingin membeli sebidang realestat dekat stasiun kereta api," kata Johannes Pflug, pejabat kota Duisburg untuk urusan Cina. "Itu perkembangan yang sesuai dengan yang kita inginkan," tandasnya.

Duisburg memang sangat membutuhkan investasi baru. Kota yang dulunya menjadi pusat industri baja dan batu bara Jerman, menghadapi masalah besar setelah industri baja dan batu bara makin mundur. Bahkan Jerman akan meninggalkan batu bara sebagai sumber pembangkit listrik, karena pencemaran lingkungan yang diakibatkannya. Saat ini, sekitar 11 persen penduduk Duisburg tercatat sebagai pengangguran. Sebagai perbandingan, tingkat pengangguran rata-rata di Jerman hanya 3%.

Hubungan ekonomi yang kuat

Pelabuhan Duisburg memang sudah lama jadi faktor penting dalam hubungan dagang dengan Cina. Selama 20 tahun terakhir, 7.000 lapangan kerja baru tercipta, sebagian berkat proyek "Belt and Road Initiavite" (BRI) yang digalang Cina, yang juga dikenal juga proyek "Jalan Sutra Baru".

Melalui BRI, Cina akan membangun jaringan infrastruktur luas yang menghubungkan pusat-pusat perdagangan dan produksi di Asia dan Eropa. Lebih dari 100 negara sudah terlibat dalam proyek besar ini, dan salah satu rute perdagangan baru akan berakhir di kota Duisburg, yang punya posisi strategis di Jerman dan Eropa.

Di Duisburg ada pelabuhan darat terbesar di dunia, yang menggunakan jalur air sungai Rhein. Pelabuhan ini memiliki delapan terminal peti kemas, yang di sini akan disiapkan untuk diangkut ke seluruh Eropa. Saat ini saja, setiap minggu ada 35 kereta barang yang beroperasi antara Duisburg dan Cina.

"Kami melayani sekitar selusin kota dan provinsi Cina," kata Erich Staake, kepala pelabuhan Duisburg. Dia menjelaskan, sekitar sepertiga dari semua perdagangan antara Eropa dan Cina sekarang sudah melewati Duisburg.

Namun sejauh ini, Cina mendapat keuntungan lebih banyak dari rute perdagangan ini. Untuk setiap tiga kontainer barang yang datang dari Cina lewat Duisburg, hanya satu kontainer dikirim ke arah timur, yang mengangkut barang-barang dari Eropa ke Cina. Artinya, Cina mengekspor lebih banyak barang daripada mengimpor dari Eropa.

Perbedaan budaya

Thomas Pattloch, pengacara dan konsultan untuk perusahaan-perusahaan Jerman yang berbisnis dengan Cina, mengakui masih ada hambatan kultural dalam hubungan ekonomi: "(Pihak) Jerman masih sangat naif kalau bernegosiasi dengan Cina."

Pattloch mengatakan perusahaan Jerman "cenderung tidak siap… Dan mereka benar-benar meremehkan cara orang Cina bernegosiasi, yang memang punya budaya dan gaya hidup unik."

Namun Pattloch percaya, kedua belah pihak dapat membangun kemitraan bisnis yang kuat, apalagi meskipun ada kekhasan budaya masing-masing "banyak negosiasi bisnis sekarang mengikuti pola standar yang sudah mapan." Namun dia juga memperingatkan, masih ada perbedaan pandangan yang cukup jauh dalam beberapa isu, misalnya soal masalah keamanan dan perlindungan data. (hp(ts)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement