Selasa 04 Jun 2019 15:20 WIB

Menteri dan Pejabat Muslim Sri Lanka Mengundurkan Diri

Pemerintah Sri Lanka dinilai gagal menjamin keamanan komunitas Muslim di negara itu.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Kerusuhan anti-Muslim di Sri Lanka.
Foto: Republika.co.id
Kerusuhan anti-Muslim di Sri Lanka.

REPUBLIKA.CO.ID, KATHMANDU -- Semua menteri dan pejabat Sri Lanka yang beragama Islam mengundurkan diri. Mereka menyatakan bahwa pemerintah gagal menjamin keamanan komunitas Muslim di negara itu. Hal ini menyusul adanya kekhawatiran serangan susulan pascabom bunuh diri pada Hari Paskah lalu.

"Semua kabinet Muslim, non-kabinet dan wakil menteri, semua yang mewakili Muslim akan mengundurkan diri. Jika portofolio menteri kita menghalangi, kita bersedia menyerahkannya demi keselamatan komunitas kita," ujar pemimpin Kongres Muslim Sri Lanka, Rauff Hakeem, dilansir Aljazirah, Selasa (4/6).

Baca Juga

Hakeem mengatakan, komunitas Muslim telah membayar mahal menjadi korban kejahatan individu. Padahal, mereka telah mematuhi aturan pasukan keamanan dan pemerintah.

Dia menambahkan, politikus Muslim akan melanjutkan posisi mereka sebagai anggota Parlemen. Para mantan menteri akan duduk di belakang parlemen dan akan berhenti memegang jabatan menteri.

"Kami akan terus mendukung pemerintah, tetapi akan memberi mereka tenggang waktu satu bulan untuk menyelesaikan penyelidikan mereka. Sampai penyelidikan selesai kita tidak akan duduk di pemerintahan," kata Hakeem.

Pengunduran diri sembilan menteri dan dua gubernur provinsi dilakukan setelah ribuan orang yang dipimpin oleh para biksu Buddha mulai berdemonstrasi di pusat kota Kandy, 115 kilometer di timur ibukota Kolombo.

Para bisku Buddha garis keras termasuk biksu Galagoda Aththe Gnanasara Thero, menetapkan batas waktu bagi pemerintah untuk memecat gubernur provinsi dan menteri yang beragama Islam.

Gnanasara, yang telah lama dituduh menghasut kejahatan dan kebencian terhadap Muslim telah dibebaskan dari penjara atas pengampunan presiden bulan lalu.

"Sangat mengganggu melihat politisi Muslim dipaksa untuk mengundurkan diri dari jabatan mereka atas dasar tuduhan yang tidak terbukti yang dibuat oleh para pemimpin agama yang kuat secara politis, dan mengklaim berbicara untuk mayoritas Buddha, serta didukung oleh ancaman kekerasan terselubung," ujar Sri Lanka Project Director, International Crisis Group, Alan Keenan.

Sementara itu, di Kandy para pengunjuk rasa berkumpul untuk mendukung biksu Buddha garis keras, Athuraliye Rathana Thero yang melakukan aksi puasa sampai mati. Pengunjuk rasa ini menuntut pemecatan dua gubernur dan seorang menteri kabinet beragama Islam yang diduga terkait dengan serangan bom Paskah lalu.

Biksu Thero mengakhiri puasanya pada Senin (3/6) lalu, setelah Gubernur Provinsi Barat Azath Salley dan Gubernur Provinsi Timur MLAM Hizbullah mengajukan pengunduran diri mereka kepada Presiden Maithripala Sirisena. Thero kemudian dibawa ke Rumah Sakit Nasional Kandy untuk mendapatkan perawatan.

Ketegangan sempat terjadi di Kandy, ketika para pengunjuk rasa melakuan aksi demonstrasi di luar Temple of Tooth Relic yang terkenal. Toko-toko terpaksa tutup dan transportasi umum tidak beroperasi akibat aksi demo tersbeut.

Kepala Gereja Katolik di Kolombo, Kardinal Malcolm Ranjith juga melakukan perjalanan ke Kandy untuk ikut berpartisipasi dalam aksi solidaritas bersama dengan Biksu Thero. "Kami mendukung kampanye biksu karena sejauh ini keadilan belum dijalani," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement