Kamis 27 Jun 2019 15:18 WIB

Demonstran Bidik KTT G-20 Turut Bahas Hong Kong

Demonstrasi di Hong Kong kembali meluas.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Demonstran berkumpul di luar Konsulat AS di Hong Kong, Rabu (26/6). Mereka menuntut aturan ekstradisi Hong Kong diangkat dalam konferensi G-20 di Jepang.
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Demonstran berkumpul di luar Konsulat AS di Hong Kong, Rabu (26/6). Mereka menuntut aturan ekstradisi Hong Kong diangkat dalam konferensi G-20 di Jepang.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Protes di Hong Kong kembali meluas pada Kamis (27/6). Pengunjuk rasa berpakaian hitam berdemonstrasi lagi di luar kantor menteri kehakiman dan memblokir jalanan.

Para demonstran kali ini memanfaatkan KTT G-20 di Jepang untuk memohon agar nasib Hong Kong dimasukkan dalam agenda pembahasan yang memicu kemaran Cina. Sebelumnya, Cina menolak pembahasan Hong Kong di KTT G-20.

Baca Juga

"Kami tahu bahwa G-20 akan datang. Kami ingin memakai kesempatan ini untuk menyuarakan diri kami sendiri," ujar seorang pemrotes yang bekerja sebagai teknisi teater Jack Cool Tsang (30 tahun).

Foto-foto polisi Hong Kong menembakkan peluru karet dan gas air mata di bawah gedung pencakar langit menjadi berita utama global. Aksi polisi tersebut mendapat kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi internasional dan penyelenggara protes.

"Selama pemerintah tidak menarik dan membatalkan UU tersebut, kami terus berjuang. Kami akan membuat G-20 gaduh supaya negara lain membahas persoalan Hong Kong," kata seorang pedemo seperti dilansir Channels News Asia, Kamis (27/6).

Beberapa dari mereka bahkan berniat untuk terbang ke Osaka dan berunjuk rasa di sela-sela KTT G-20. Pengunjuk rasa juga menyerahkan petisi ke kantor Konsulat Amerika Serikat (AS) dengan harapan Presiden AS Donald Trump akan membicarakan RUU tersebut dengan Presiden Cina Xi Jinping.

Mereka juga mengumpulkan dana hingga berjuta-juta dolar AS untuk memasang iklan di surat kabar New York Times agar tuntutan mereka terpenuhi. Para pengunjuk rasa juga menghendaki kekuatan asing menekan Pemerintah Hong Kong untuk menarik, bukannya menangguhkan RUU yang memicu berbagai aksi menolak RUU ekstradisi yang kini telah ditangguhkan. 

Jutaan orang terlihat memadati jalanan dalam tiga pekan terakhir menuntut agar RUU itu dihapuskan. Rancangan undang-undang memuat, tersangka kriminal akan dikirim ke daratan Cina untuk diadili di pengadilan yang dikendalikan oleh Partai Komunis Cina.

"Saya pikir gerakan ini sangat sukses karena kali ini tujuannya sangat jelas," kata seorang pemrotes, Ken Yau. Protes kali ini menurutnya sama seperti gerakan demokrasi Hong Kong 2014 yang mempengaruhi sebagian pusat keuangan Asia selama 79 hari. 

"Saya berumur 11 tahun ketika Gerakan Payung terjadi. Saya hanya pergi ke tempat protes yang diduduki beberapa kali bersama keluarga saya," kata Ken. 

Demonstrasi merupakan tantangan terbesar bagi Presiden Cina Xi Jinping sejak ia berkuasa pada 2012. Aksi warga di jalan utama telah berulang kali memaksa penutupan sementara kantor pemerintah, memblokir jalan utama, dan menyebabkan gangguan besar.

Sejak Hong Kong kembali ke pemerintahan Cina pada 1997, yang diatur di bawah formula "satu negara, dua sistem" yakni memungkinkan kebebasan yang tidak dinikmati di daratan Cina, termasuk kebebasan untuk memprotes dan peradilan yang independen.

Kendati demikian, banyak yang menuduh Cina terlibat campur tangan selama bertahun-tahun. Cina dinilai menghalangi reformasi demokrasi, mengganggu pemilihan umum, menekan aktivis muda, serta berada di belakang hilangnya lima penjual buku yang berbasis di Hong Kong yang kerap mengkritisi para pemimpin Cina.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement