Selasa 02 Jul 2019 11:42 WIB

Putin dan Erdogan Segera Gelar KTT Bahas Suriah-Iran

Turki, Rusia, dan Iran adalah negara penjamin perantara gencatan senjata Suriah 2016.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ani Nursalikah
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersama Presiden Rusia Vladimir Putin.
Foto: Kremlin Pool Photo via AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersama Presiden Rusia Vladimir Putin.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Kremlin mengatakan, Presiden Rusia Vladimir Putin telah melakukan diskusi dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam rencana mengadakan KTT trilateral tentang Suriah, termasuk Iran. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengonfirmasi hal tersebut, Senin (1/7) waktu setempat.

Hal itu dikatakan ketika kedua pemimpin membahas perincian pada pertemuan di sela-sela KTT G20 pekan lalu di Osaka, Jepang. "Hal itu telah dibahas pada pertemuan presiden Putin dan Erdogan, KTT seperti soal Suriah hingga Iran akan dibahas. Ada pemahaman pertemuan akan segera terjadi. Soal tanggal KTT, kami akan menginformasikan kepada wartawan," katanya Peskov dilansir Anadolu Agency, Selasa (2/7).

Baca Juga

Turki, Rusia, dan Iran adalah negara penjamin yang menjadi perantara gencatan senjata di Suriah pada Desember 2016. Ketiganya mengarah ke Astana, pembicaraan Kazakhstan yang berjalan dengan pembicaraan damai Jenewa.

Pada September 2016, Putin dan Erdogan menjadi perantara gencatan senjata untuk menciptakan zona penyangga yang didemiliterisasi di wilayah tersebut. Namun, sebuah faksi yang sebelumnya dikenal sebagai Front Nusra yang terhubung dengan Alqaidah sejak itu telah mendominasi Idlib. Rusia menilai Idlib sebagai sarang teroris.

Setelah pertemuan itu, Erdogan mengatakan zona aman di Suriah tidak boleh dibiarkan diperintah oleh teroris. Turki tahun lalu menciptakan pos-pos di Idlib untuk mencegah eskalasi di wilayah tersebut.

Suriah telah mengalami perang saudara sejak awal 2011. Saat itu, rezim Assad menindak demonstran dengan keganasan yang tak terduga. Sejak itu pula, ratusan ribu orang diyakini telah terbunuh dan jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal akibat konflik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement