Rabu 03 Jul 2019 05:35 WIB

Eropa Minta Iran Batalkan Pengayaan Senjata Nuklir

Ketegangan AS dan Iran dikhawatirkan memantik perang secara tidak sengaja.

Rep: Febryan A/ Red: Friska Yolanda
Foto menunjukkan bagian atas dari fasilitas nuklir reaktor air berat Arak, 250 kilometer barat daya ibu kota Teheran, Iran.
Foto: Mehdi Marizad/Fars News Agency via AP
Foto menunjukkan bagian atas dari fasilitas nuklir reaktor air berat Arak, 250 kilometer barat daya ibu kota Teheran, Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Sejumlah negara di Eropa yang ikut menandatangani pakta nuklir 2015 kembali mengingatan Iran agar mematuhi isi perjanjian tersebut. Sementara itu, Israel kini telah mempersiapkan kekuatan militernya untuk menyokong Amerika Serikat (AS) berperang dengan Iran.

Iran pada pekan ini baru saja mengumumkan tengah melakukan pengayaan uranium. Presiden AS Donald Trump mengatakan Iran sedang bermain api dengan tindakannya itu.

Baca Juga

"Kami menyesali keputusan Iran ini karena memunculkan pertanyaan tentang hal yang sangat penting, yakni untuk tidak terus mengembangkan (senjata) nuklir," kata Menteri Luar Negeri Jerman, Prancis dan Inggris, dalam peryataan bersama dengan Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Iran, Selasa (2/7) waktu setempat. 

Mereka meminta agar Iran membatalkan langkah tersebut dan menahan diri dari langkah lebih lanjut yang merusak perjanjian nuklir.

Tensi antara Iran dan AS belakangan ini meningkat. Ini dimulai dari mundurnya Washington dari perjanjian nukir pada 2018. Setelah itu, Donald Trump juga mengenakan embargo terhadap minyak produksi Iran. Terlebih lagi, Donald Trump menuduh bahwa Iran lah yang bertanggung jawab atas penyerangan kapal tanker di kawasan teluk, meski Iran menolak tuduhan itu.

Sedangkan negara Eropa yang ikut menandatangi perjanjian nuklir, yakni Prancis, Jerman, Inggris, telah berupaya untuk menghentikan konfrontasi langsung antara Iran dan AS. Mereka takut tindakan secara tidak sengaja dalam kondisi yang sedang tegang, bisa memantik perang secara tidak sengaja.

Di lain sisi, Israel yang merupakan musuh Iran, terus mendrong Donald Trump untuk menekan Iran dengan sanksi. Dengan begitu, menurut Israel, Iran akan mau benegosiasi untuk kesepakatan nuklir yang terbatas.

Tetapi Menteri Luar Negeri Israel Katz mengatakan dalam sebuah forum keamanan internasional bahwa Iran mungkin secara tidak sengaja tersandung dari apa yang disebutnya "zona abu-abu" konfrontasi terkendali. Israel pun mengaku akan terus mempersiapkan diri untuk kemungkinan 'zona merah' tersebut. 

"Oleh karena itu Israel terus mengabdikan dirinya untuk membangun kekuatan militer untuk merespon skenario eskalasi," kata Katz.

Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyangkal bahwa Iran telah melanggar perjanjian nuklir dengan memperkaya uranium. Iran, kata dia, menggunakan haknya setelah keluarnya AS dari perjanjian.

Jika Iran terus melampaui batas pengayaan uranium mereka, seperti yang dikatakan Eropa, maka bukan tidak mungkin Iran akan kembali menderita oleh sanksi internasional seperti dulu waktu pakta nulir belum disepakati. Meski demikian, seorang diplomat Uni Eropa mengatakan bahwa peserta kesepakatan belum akan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa sesuai yang tercantum dalam pakta nuklir.

Diplomat lainnya mengatakan bahwa Prancis, Inggris dan Jerman akan berupaya terus untuk mematuhi pakta nuklir dengan mengutamakan cara dialog. Sementara, China yang juga peserta pakta nuklir 2015, menyesali tindakan Iran memperkaya uraniumnya dengan melanggar kesepakatan.

Pada Senin lalu, kantor berita semi-resmi Iran, Fars, mengatakan bahwa Iran telah memperkaya uraniumnya melebihi batas 300 kilogram sesuai kesepakatan. Tapi Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif membantah hal itu.

"Kami TIDAK melanggar #JCPOA," tulis Zarif di akun Twitter miliknya, merujuk pada singkatan judul resmi pakta nuklir, yakni Joint Comprehensive Plan of Action.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement