Senin 01 Jul 2019 19:23 WIB

Sri Lanka Tolak Permintaan PBB Batalkan Hukuman Mati

Sri Lanka menilai hukuman mati dibutuhkan negaranya untuk melindungi dari narkoba.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Sri Lanka
Foto: .
Sri Lanka

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO – Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena menolak permintaan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres agar tak memberlakukan kembali hukuman mati di negaranya. Sirisena mengatakan hukuman itu dibutuhkan untuk melindungi negaranya dari peredaran narkoba.

Sirisena mengungkapkan, Guterres meneleponnya pekan lalu. Dalam percakapannya, Guterres meminta dia mempertimbangkan kembali keputusannya untuk memberlakukan lagi hukuman mati setelah 43 tahun.

Baca Juga

“Dia menelepon saya pekan lalu setelah saya menandatangani empat surat perintah hukuman mati. Saya mengatakan kepadanya untuk mengizinkan saya membasmi ancaman narkoba. Saya mengatakan kepada Sekretaris Jenderal (PBB) bahwa saya ingin menyelamatkan negara saya dari narkoba,” ujar Sirisena dalam sebuah pertemuan di Kolombo pada Senin (1/7), dikutip laman Aljazirah.

Pada Rabu pekan lalu, Sirisena menandatangani surat perintah hukuman mati untuk empat terpidana kasus narkoba di negaranya. Namun, identitas mereka yang hendak dieksekusi masih belum dipublikasikan. Waktu dan tempat pelaksanaan hukuman mati juga belum diketahui.

Keputusan Sirisena itu segera menuai kritik dari anggota parlemen Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe. Namun, hal itu tak membuatnya membatalkan keputusannya.

Uni Eropa juga turut mengkritisi keputusan Sirisena. Para diplomat Uni Eropa bahkan mengancam akan mengenakan tarif terhadap Sri Lanka. “Uni Eropa mengatakan kepada saya bahwa mereka akan menarik (konsesi tarif) GSP Plus jika saya meneruskan. Ini mengganggu kedaulatan dan kemerdekaan negara kami,”  ujar Sirisena.

Sirisena mengklaim terdapat 200 ribu pecandu narkoba di negaranya. Sebanyak 60 persen penghuni tahanan yang berjumlah 24 ribu orang merupakan orang-orang yang tersangkut kasus narkoba.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement