Rabu 10 Jul 2019 11:22 WIB

Pendatang Suriah dan Amarah Warga Turki yang Pecah

Tenaga kerja Suriah murah, sehingga dinilai mengambil pekerjaan warga Turki.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Penjaga toko asal Suriah Mustafa di depan toko pakaian di Kucukcekmece, Istanbul, Turki, 5 Juli 2019.
Foto:

Menurut kementerian dalam negeri Turki, negara tersebut menampung lebih dari 3,6 juta warga Suriah, populasi terbesar warga Suriah yang telantar akibat perang saudara selama delapan tahun. Provinsi Istanbul saja memiliki lebih dari setengah juta warga Suriah.

Perekonomian Turki yang goyah dan meningkatnya pengangguran telah memicu kemarahan terhadap kehadiran mereka. Banyak dari pendatang yang dibenci oleh orang Turki karena tenaga kerja yang murah sehingga mengambil alih pekerjaan.

Hal itu telah menyebabkan pemerintahan Presiden Turki Tayyip Erdogan mendapat sorotan karena telah menampung warga Suriah. Turki membuka perbatasannya dengan Suriah ketika konflik pertama kali terjadi pada 2011.

Pekan lalu, Anadolu Agency milik negara menyatakan hampir 80 ribu warga Suriah kembali pada paruh pertama 2019. Jumlah itu masih hanya sebagian kecil dari populasi pengungsi di Turki. Banyak diantara mereka bertujuan membangun kehidupan baru di Turki.

Lawan politik Erdogan telah mengkritiknya karena mengizinkan begitu banyak pengungsi. Bahkan Wali Kota oposisi baru Istanbul Ekrem Imamoglu menyatakan Turki menderita karena masuknya warga Suriah.

"Kami akan melakukan upaya untuk menciptakan dasar bagi para migran Suriah untuk kembali ke tanah air mereka, tanah air mereka yang bebas. Kalau tidak, kita akan memiliki beberapa masalah keamanan yang akan benar-benar menyusahkan kita semua, dan akan ada bentrokan jalanan," kata Imamoglu.

Pada malam saat Imamoglu memenangkan pemilihan wali kota, sebuah tagar tersebar di media sosial, '"Suriyeliler Defoluyor" yang berarti "Suriah, Keluar".

Sementara itu, pada 30 Juni dua warga Suriah yang bekerja bersebelahan di sebuah toko emas, dan toko elektronik mendengar gerombolan massa menyerang toko-toko Suriah. "Kami berkemas dengan cepat dan pergi," kata salah satu karyawan toko elektronik, yang meminta namanya tidak disebutkan.

Berbicara dalam bahasa Arab dengan aksen Aleppo, dia melambaikan tangannya ke kotak kaca kosong di depannya. "Saya biasanya memiliki telepon yang ditampilkan di sini, tetapi sampai sekarang kami agak takut. Kami tidak menampilkan barang dagangan kami karena situasinya tidak stabil," ucapnya.

Massa menghancurkan etalase kaca toko emas itu. Kamera, simbol berbahasa Arab dan lampu keamanan toko elektronik tersebut hancur.

Beberapa hari kemudian, benda-benda itu tetap rusak. Para pemilik toko berencana memasang simbol baru dalam bahasa Turki untuk melindungi diri mereka sendiri. Selain itu, karena gubernur Istanbul pekan lalu mengumumkan toko-toko harus memastikan setidaknya 75 persen dari papan nama dalam bahasa Turki, bukan Arab.

Setelah serangan Kucukcekmece, markas besar kepolisian Istanbul menyatakan, mereka menangkap lima tersangka yang terhubung dengan akun media sosial yang mengeluarkan tagar 'Suriah Keluar', dan 'Saya Tidak Ingin Suriah di Negara Saya'. Polisi juga menyatakan penyelidikan menemukan grup pesan dengan 58 anggota bertanggung jawab untuk menghasut bentrokan di Kucukcekmece. Sebanyak 11 anggota telah ditahan saat penyelidikan berlanjut. Warga Suriah menyatakan lega polisi telah bertindak.

"Kami tinggal, kami tidak bisa menyerah atau apa pun. Kita tidak bisa menutupnya, bagaimana kita hidup?" kata Mustafa.

Sebagian besar pemilik toko mengatakan mereka berharap kondisi tidak akan menjadi lebih buruk dan mengubah simbol bahasa Arab ke bahasa Turki akan mengurangi ketegangan. Beberapa menyatakan bentrokan itu merupakan gelombang kemarahan sesekali, yang tidak mewakili perasaan kebanyakan orang Turki terhadap warga Suriah.

"Ini seperti gunung berapi, setiap lima atau enam bulan kami mengalami ledakan," kata seorang pelanggan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement