Rabu 10 Jul 2019 23:12 WIB

Misil AS di Libya Milik Militer Prancis

Kementerian Pertahanan Prancis menyebut misil digunakan untuk lindungi pasukannya

Rep: Lintar Satria/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Anggota gerilyawan antipemerintah memegang senjata antiserangan udara di depan kilang minyak Ras Lanouf, di timur Libya, 5 Maret 2011.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Anggota gerilyawan antipemerintah memegang senjata antiserangan udara di depan kilang minyak Ras Lanouf, di timur Libya, 5 Maret 2011.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kementerian Pertahanan Prancis menemukan misil Amerika Serikat (AS) yang direbut dari Pasukan Pembebasan Libya (LNA) milik militer Prancis. Dalam penyataan hari Rabu (10/7) Kementerian Pertahanan Prancis mengatakan misil tersebut untuk melindungi pasukan anti-terorisme Prancis di Libya. 

Dengan begitu misil tersebut tidak melanggar embargo yang diberlakukan terhadap Libya. Mereka mengatakan misil tersebut rusak, tidak lagi dapat beroperasi dan kini diletakan di gudang untuk dihancurkan. 

Pengungkapkan ini sangat beresiko karena akan sangat memalukan bagi Prancis yang sempat menawarkan dukungan kepada ketua LNA Khalifa Haftar. Haftar yang menguasai timur Libya melakukan serangan ke Tripoli. 

Mereka menyerang pemerintah Tripoli yang didukung PBB. Pasukan pro-pemerintah merebut misil anti-tank FGM-148 Javelin, drone buatan Uni Emirat Arab Yabhon dan misil kendali anti-tank buatan Rusia Kornet pada bulan Juni lalu. 

Prancis membantah mengirimkan misil ke pasukan Haftar. Kementerian pertahanan mereka juga mengatakan sudah menginformasikan hal ini kepada AS. 

Pada Selasa (9/7) lalu PBB melaporkan pertempuran antara pasukan Haftar dengan pasukan pemerintah yang berlangsung sejak awal April lalu setidaknya telah menewaskan 1.000 orang. Eskalasi pertempuran yang terus memburuk dikhawatirkan dapat menimbulkan lebih banyak korban berjatuhan, khususnya warga sipil. 

Dewan Keamanan PBB sudah meminta semua pihak yang terlibat dalam konflik di Libya menghindari dan segera menghentikan aksi militer. Tindakan Haftar yang mengerahkan pasukan ke Tripoli dinilai dapat semakin menghambat proses politik yang diperlukan demi mencapai perdamaian.

Haftar juga dinilai terus membuat warga sipil dalam bahaya dan memperburuk penderitaan mereka. Namun Haftar dan LNA mengabaikan seruan tersebut. Pada awal bulan ini LNA mengatakan tengah mempersiapkan pengemboman besar-besaran. Alasannya karena 'cara perang tradisional' sudah usai. 

Pada 3 Juli lalu ada serangan udara yang menghantam sebuah pusat penahanan imigran. LNA membantah terlibat dalam insiden di Tripoli yang menewaskan lebih dari 50 orang dan melukai 130 orang itu. 

Libya dilanda kekacauan sejak presiden Muammar Gaddafi digulingkan pada 2011. Faksi-faksi bersenjata memperebutkan kekuasaan. Pemerintahan negera itu terbagi atas dua, satu di Ibu Kota Tripoli, basis pemerintahan yang diakui masyarakat internasional.

Satu lagi pemerintahan LNA yang menguasai wilayah timur. LNA terus berupaya untuk dapat menguasai dan mengendalikan Libya secara keseluruhan. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement