Ahad 23 Jun 2019 18:43 WIB

KTT ASEAN Diharapkan Bahas Rohingya dan Laut Cina Selatan

Rohingya dan Laut Cina Selatan patut disorot lebih pemimpin ASEAN.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Indira Rezkisari
(Dari kiri), PM Malaysia Mahathir Muhamad, Penasehat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi, Presiden Filipina Rodrigo Duterte, PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Thailand Prayut Chan, PM Vietnam Nguyen Xuan Phuc, Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, Presiden Joko Widodo dan Presiden Laos Bounnhang Vorachith meluncurkan DELSA Satelit disela-sela pembukaan KTT ASEAN ke-34 di Bangkok, Thailand, Ahad (23/6/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
(Dari kiri), PM Malaysia Mahathir Muhamad, Penasehat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi, Presiden Filipina Rodrigo Duterte, PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Thailand Prayut Chan, PM Vietnam Nguyen Xuan Phuc, Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, Presiden Joko Widodo dan Presiden Laos Bounnhang Vorachith meluncurkan DELSA Satelit disela-sela pembukaan KTT ASEAN ke-34 di Bangkok, Thailand, Ahad (23/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-34 yang dihelat di Bangkok, Thailand, pada Ahad (23/6), diharapkan membahas tentang proses repatriasi Rohingya dan sengketa klaim Laut Cina Selatan. Dua isu tersebut menjadi masalah regional yang dinilai patut memperoleh perhatian dari para pemimpin ASEAN.

Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah telah menyerukan agar para pelaku pembantaian Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, diadili. Dia memperingatkan agar proses repatriasi dapat mengakomodasi kebutuhan para pengungsi.

Baca Juga

Dalam hal ini, Saifuddin menekankan tentang pentingnya status kewarganegaraan untuk mereka. “Proses repatriasi harus mencakup kewarganegaraan Rohingya,” ujarnya.

Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menilai masalah Rohingya adalah ujian utama bagi kemampuan ASEAN. Ia harus mampu mewujudkan jargon ASEAN sebagai “One Caring and Sharing Community”.

“Perkembangan di Myanmar memberikan tes lakmus untuk kapasitas ASEAN mengelola perkembangan di salah satu negara anggotanya yang memiliki konsekuensi yang lebih luas bagi kawasan ini dan bahkan di luar,” kata Marty.

Selain Rohingya, ASEAN juga menghadapi tantangan lain, yakni perihal sengketa klaim di Laut Cina Selatan. Hampir seluruh wilayah perairan strategis itu diketahui telah diklaim Cina sebagai bagian dari teritorialnya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thiland Busadee Santipitaks berharap terdapat kemajuan yang dibuat dalam penanganan perselisihan klaim Laut Cina Selatan antara Cina dan beberapa negara ASEAN. “Negara-negara tersebut membuat beberapa kemajuan dalam draf negosiasi Code of Conduct (Kode Etik) untuk Laut Cina Selatan yang disengketakan dan kemungkinan akan menyelesaikan pembacaan pertama pada akhir tahun ini,” ucapnya.

Cina dan ASEAN menyepakati draf negosiasi Code of Conduct (COC) pada perhelatan KTT Bisnis dan Investasi ASEAN yang digelar di Singapura, November tahun lalu. Beijing berharap pembicaraan tentang COC dengan negara-negara ASEAN dapat diselesaikan dalam tiga tahun. Sebab Beijing menilai kesepakatan yang tercapai nantinya dapat meningkatkan aktivitas perdagangan bebas.

“Ini adalah harapan Cina bahwa COC akan selesai dalam waktu tiga tahun sehingga akan berkontribusi untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan,” ujar Perdana Menteri Cina Li Keqiang, dikutip dari Reuters.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement