Sabtu 13 Jul 2019 23:39 WIB

Selandia Baru Mulai Gelar Acara Buyback Senjata Api Otomatis

Senjata semi-otomatis sudah dilarang Pemerintah Selandia Baru.

Rep: Lintar Satria/ Red: Andri Saubani
CHRISTCHURCH. Orang-orang berkumpul di Hagley Park untuk melaksanakan March for Love sebagai penghormatan pada korban terorisme di Christchurch, Selandia Baru, Sabtu (23/3) waktu setempat.
Foto: AP Photo/Mark Baker
CHRISTCHURCH. Orang-orang berkumpul di Hagley Park untuk melaksanakan March for Love sebagai penghormatan pada korban terorisme di Christchurch, Selandia Baru, Sabtu (23/3) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Puluhan pemiliki senjata api di Christchurch menyerahkan senjata mereka untuk ditukar dengan uang. Penukaran ini dilakukan di acara pertama dari 258 acara buyback senjata semi-otomatis yang sudah dilarang Pemerintah Selandia Baru.

Dilansir dari the Guardian dalam acara yang digelar pada Sabtu (13/7) ini polisi mengatakan membayar 433,682 dolar Selandia Baru (NZ) untuk membeli 224 senjata semi-otomatis warga. Pada April lalu, legislatif Selandia Baru memberlakukan larangan senjata militer.

Polisi memuji perilaku para pemilik senjata api. Menurut Pelaksana Tugas Kepala Polisi Distrik Canterbury Mike Johnson partisipasi warga dalam acara yang digelar di Pacuan Kuda Riccarton ini 'sangat luar biasa'.

"Mereka sangat terlibat dalam proses hari ini dan kami mendapatkan saran positif," kata Johnson dalam pernyataannya, Sabtu (13/7).

Kepada surat kabar New Zealand Herald, Johnson mengatakan warga sudah mengantre sejak pukul 08:30 pagi. Satu jam sebelum acara tersebut dibuka. Karena itu ia membuka acara ini lebih awal dan para pemilik senjata api terus berdatangan sampai pukul 15.00.

Johnson mengatakan, walaupun di beberapa titik para warga harus menunggu. Tapi sikap mereka sangat fenomenal.

"Saya tidak melihat ada yang menggerutu, atau melihat kegelisahan di ruangan, pada kenyataannya ini proses pertama, dan mereka menyerahkan senjata mereka dan mendapatkan kompensasi yang adil," tambah Johnson.

Walaupun ada 900 warga yang daftar polisi tidak melihat acara buyback pertama ini mengecewakan. Johnson mengatakan jumlah yang mendaftar mewakili seluruh wilayah. Banyak dari warga yang memilih untuk menyerahkan senjata mereka di acara yang lebih dekat dari rumah.

Ia mengatakan, acara pertama buyback ini berjalan sukses dan meningkatkan kepercayaan diri untuk proses selanjutnya.

"Perubahan undang-undang ini tidak membuat pemilik senjata api itu orang jahat, mereka masyarakat Selandia Baru yang baik, kami mendorong mereka untuk datang dan berpartisipasi dalam proses selama enam bulan, jadi kami menghormati niat baik undang-undang," kata Johnson.

Menteri Kepolisian Stuart Nash memuji polisi dan pemilik senjata atas suksesnya acara tersebut. "Selandia Baru tidak pernah menggelar buyback dan amnesti sebelumnya, kerja keras selama berbulan-bulan telah diinvestasikan dan terbayarkan," kata Nash. 

New Zealand Herald mengutip salah satu warga yang tidak disebutkan namanya. Warga tersebut mengatakan ia menerima 13 ribu dolar NZ untuk senjata semi-otomatis yang digunakan untuk berburu.

"Saya tidak berpikir ini proses yang akan adil, saya tidak terlalu senang dengannya, tapi hasilnya cukup baik dan mereka menanganinya dengan baik," kata warga tersebut.

Jaringan berita Newshub New Zealand juga mengutip salah satu partisipan yang tidak mau disebutkan namanya. Warga tersebut mengaku terkesan dan senang dengan uang kompensasi yang dibayarkan pemerintah.

"Saya menjual SKS dan saya dapat 712 dolar NZ, nilainya hampir sama persentase yang baru, ini baik-baik saja, mereka tiba, mereka melayani kami dengan cepat," katanya.

Warga tersebut mengatakan polisi membariskan para warga sesuai dengan nomor yang sudah ditentukan. Polisi memanggil mereka satu per satu sesuai dengan nomor tersebut. Warga memberikan senjata mereka dan diberi uang kompensasi setelah itu selesai.

Larangan kepemilikan senjata otomatis ini diberlakukan setelah 51 orang tewas dalam penembakan yang menggunakan jenis senjata tersebut di dua masjid di Christchurch pada 15 Maret 2019. Atas kejadian itu warga Australia Brenton Tarrant didakwa 51 pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan dan aksi terorisme.

Tarrant menyatakan tidak bersalah atas semua dakwaan. Proses peradilannya yang akan dilakukan pada 4 Mei 2020 diperkirakan akan memakan waktu enam pekan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement