Jumat 12 Jul 2019 11:31 WIB

PBB Selidiki Pembunuhan dalam Operasi Narkoba Filipina

Dewan HAM PBB melakukan pemungutan suara untuk selidiki operasi narkoba Filipina.

Red: Nur Aini
Presiden Filipina Rodrigo Duterte berbicara dalam forum bisnis Korea Selatan (Korsel)-Filipina di Seoul, Korsel, Selasa (5/6).
Foto: AP Photo/Ahn Young-joon
Presiden Filipina Rodrigo Duterte berbicara dalam forum bisnis Korea Selatan (Korsel)-Filipina di Seoul, Korsel, Selasa (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis (11/7) memutuskan untuk menyelidiki pembunuhan massal di Filipina selama "perang melawan narkoba", yang dilancarkan Presiden Rodrigo Duterte.

Resolusi pertama kalinya yang dicapai menyangkut Filipina itu diusung oleh Islandia dan disahkan melalui pemungutan suara oleh negara-negara anggota Dewan HAM. Pemungutan suara menghasilkan 18 suara dukungan, 14 menentang, termasuk China, dan 15 abstain, termasuk Jepang.

Baca Juga

Selama ini, pemerintah Filipina mengatakan bahwa, sejak Duterte terpilih sebagai presiden pada 2016, polisi dalam program untuk menumpas kejahatan telah menewaskan sekitar 6.600 orang saat adu-tembak dengan para tersangka pengedar narkoba. Namun, kalangan pembela HAM mengatakan angka korban tewas itu mencapai sedikitnya 27 ribu orang.

Para aktivis HAM Filipina mengatakan puluhan ribu orang terbunuh sementara polisi meneror kalangan masyarakat miskin dengan menggunakan "daftar orang di bawah pengawasan" untuk menentukan tersangka pengguna atau pengedar narkoba. Para aktivis menuduh polisi membunuh orang-orang melalui operasi-operasi terselubung.

Kepolisian Filipina membantah tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa pembunuhan terjadi saat polisi membela diri. Juru bicara Duterte, Salvador Panelo, mempertanyakan keabsahan resolusi Dewan HAM itu, yang tidak didukung oleh mayoritas anggotanya.

Panelo mengatakan rakyat Filipina mendukung kepemimpinan Duterte yang unik beserta pendekatan yang diambil sang presiden dalam menyelesaikan masalah. Delegasi Filipina, negara yang juga merupakan salah satu dari 47 anggota Dewan HAM, telah berupaya membendung pengesahan resolusi tersebut.

Resolusi berisi desakan kepada pihak berwenang nasional Filipina untuk mencegah kejadian pembunuhan sewenang-wenang serta untuk bekerja sama dengan Komisioner Tinggi PBB urusan HAM Michelle Bachelet. Bachelet akan melaporkan hasil penyelidikan pada Juni 2020 soal pembunuhan di Filipina itu.

Di Manila, Presiden Duterte ditanya para wartawan soal apakah ia akan mengizinkan para pejabat HAM PBB mendapat akses untuk menjalankan penyelidikan. Ia menjawab, "Biarkan mereka menjelaskan tujuan mereka dulu dan saya akan mengkajinya."

Salvador Panelo mengatakan bahwa jika Duterte mengizinkan penyelidikan dijalankan serta investigasi itu dilakukan secara seimbang, "Kami yakin hasilnya hanya akan membuat para penyelidik, demikian juga dengan Islandia dan 17 negara lainnya, kehilangan muka."

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement