Ahad 30 Jun 2019 11:30 WIB

Perdamaian Palestina-Israel Butuh Payung Hukum Internasional

Rencana perdamaian yang diajukan selama lima dekade terakhir, selalu temui kegagalan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Budi Raharjo
Seorang warga Palestina membakar foto Presiden AS Donald Trump dan Raja Hamad al-Khalifa dari Bahrain dalam protes menentang rencana ekonomi AS di Bahrain di desa Halhuldekat, Hebron, Tepi Barat, Palestina, Senin (24/6).
Foto: AP Photo/Majdi Mohammed
Seorang warga Palestina membakar foto Presiden AS Donald Trump dan Raja Hamad al-Khalifa dari Bahrain dalam protes menentang rencana ekonomi AS di Bahrain di desa Halhuldekat, Hebron, Tepi Barat, Palestina, Senin (24/6).

REPUBLIKA.CO.ID, MANAMA -- Pelapor Khusus PBB Michael Lynk mengatakan pendudukan Israel atas Palestina harus diakhiri dalam lingkup hukum internasional. Menurutnya, tak ada cara lain yang dapat ditempuh untuk menuntaskan perselisihan antara kedua negara tersebut.

“Tanpa kerangka hukum internasional, rencana perdamaian apapun, termasuk proposal yang akan datang dari Amerika Serikat (AS), akan membentur kumpulan realisme politik,” ujar Lynk pada Sabtu (29/6), dikutip laman Anadolu Agency.

Dia mengungkapkan setiap rencana perdamaian Timur Tengah yang disodorkan selama lima dekade terakhir, seluruhnya berujung kegagalan. “Sebagian besar karena mereka tidak secara serius mendesak pada pendekatan berbasis hak untuk perdamaian antara Israel dan Palestina,” ucapnya.

Menurut Lynk, terdapat enam prinsip yang sangat penting dalam proses perdamaian Israel dengan Palestina, antara lain tentang hak asasi manusia (HAM), penentuan nasib sendiri, pencaplokan lahan, permukiman ilegal, keamanan, dan nasib pengungsi Palestina.

“Jika rencana perdamaian gagak mengintegrasikan prinsip-prinsip ini, hal itu pasti akan mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya dan membuat konflik lebih mengakar dan kehilangan harapan daripada sebelumnya,” kata Lynk.

“Konsensus internasional saat ini mendukung solusi dua negara, yang membutuhkan negara Palestina yang berdaya, berdampingan, dan berdaulat penuh, berdasarkan perbatasan Juni 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya,” ujar dia menambahkan.

Pada Rabu lalu, AS menggelar konferensi ekonomi di Manama, Bahrain. Tujuan utama konferensi itu adalah menarik para pebisnis untuk berinvestasi di wilayah Palestina. Washington menargetkan menghimpun dana sebesar 50 miliar dolar AS.

Solusi ekonomi menjadi upaya terbaru yang ditawarkan AS guna mendamaikan Palestina dan Israel. Penasihat Senior Gedung Putih Jared Kushner menilai Palestina perlu menerima rencana ekonomi yang diusulkan negaranya.

“Menyetujui jalur ekonomi ke depan adalah prasyarat yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah politik yang sebelumnya tidak dapat diselesaikan,” ujar Kushner saat berpidato dalam konferensi itu.

Dia mengakui solusi ekonomi yang ditawarkan AS untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina sama sekali tak menyinggung persoalan politik, termasuk tuntutan Palestina untuk diakui sebagai negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Namun Kushner tak memungkiri bahwa hal-hal yang menyangkut politik itu perlu ditangani juga nantinya.

“Agar lebih jelas, pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bagi rakyat Palestina tidak mungkin terjadi tanpa solusi politik yang adil dan berkelanjutan, yang menjamin keamanan Israel dan menghormati martabat rakyat Palestina,” kata Kushner.

Oleh sebab itu, ia berupaya meyakinkan Palestina agar bersedia menerima rencana pekonomi AS. “Pesan langsung saya kepada rakyat Palestinaadalah bahwa terlepas dari apa yang dikatakan orang-orang yang mengecewakan kalian di masa lalu, Presiden (AS Donald) Trump dan Amerika tidak menyerah pada Anda,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement