Jumat 26 Jul 2019 09:33 WIB

Boris Johnson, Trump Versi Inggris?

Boris Johnson baru melepas kewarganegaraan AS setelah dikejar-kejar badan pajak AS

Boris Johnson.
Foto: Reuters
Boris Johnson.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Lintar Satria

Perdana menteri Inggris yang baru, Boris Johnson, memang mengundang sejumlah spekulasi. Salah satunya ada kekhawatiran bahwa ia bisa saja sama kontroversialnya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Dilansir CNN, Kamis (25/7), banyak warga Inggris yang menyebarkan tagar #NotmyPM setelah Johnson dinyatakan terpilih sebagai perdana menteri. Tagar itu mirip ketika Trump terpilih sebagai presiden AS pada 2016 lalu, saat warga AS kecewa dengan hasil pemilihan umum dan menyebarkan tagar #NotmyPresident.

Johnson pernah membuat marah banyak orang karena artikelnya dalam surat kabar the Telegraph pada 2002. Saat itu ia mengkritik pemerintahan Tony Blair yang menurut dia menghamburkan uang pembayar pajak dengan bepergian ke luar negeri.

"Tidak diragukan lagi AK-47 akan bungkam, dan ikan panga berhenti memburu daging manusia, dan para suku kestaria akan merekahkan watermelon smiles melihat pemimpin kulit putih mendarat dengan burung besar yang dibiayai orang Inggris kulit putih," tulis Johnson.

Watermelon smiles ditujukan pada makna stereotip warga keturunan Afrika. Ya, di Eropa dan Amerika ada stereotip orang Afrika sangat menyukai semangka.

Ketika budak Afrika meraih kemenangan dalam Perang Sipil Amerika, masyarakat Afrika-Amerika yang bebas dari perbudakan mengembangbiakkan, memakan, dan menjual semangka untuk merayakannya dan menjadikan buah itu sebagai simbol kebebasan mereka. Kaum kulit putih yang memperjuangkan perbudakan meresponsnya dengan membuat buah itu sebagai simbol kemalasan, kekotoran, dan kekanak-kanakan masyarakat kulit hitam.

Pernyataan Johnson pun dianggap sebagai ujaran rasial. Pada tahun yang sama ia juga mengeluarkan pernyataan rasial tentang Benua Afrika di majalah the Spectator. Dalam artikelnya, Johnson mengatakan, Inggris tidak salah dalam perbudakan di Uganda.

Tidak hanya pernyataan-pernyataan rasialnya yang mirip dengan Trump. Johnson juga lahir di New York. Berdasarkan undang-undang AS, ia warga negara AS. Ia lahir di New York saat ayahnya sedang belajar di Columbia University, AS. Majalah Newsweek melaporkan Johnson baru melepaskan kewarganegaraan AS setelah ia dikejar-kejar badan pajak AS, Internal Revenue Service (IRS), karena tidak membayar pajak.

Johnson sempat menjadi Wali Kota London, kemudian menjadi menteri luar negeri selama dua tahun. Ia mengundurkan diri dari kabinet Perdana Menteri Theresa May karena tidak setuju dengan paket kesepakatan Brexit yang dijalin May dengan Uni Eropa.

The Atlantic melaporkan, Johnson kerap berselisih pendapat dengan pemimpin-pemimpin partainya. Johnson tidak terbelenggu batasan-batasan yang biasanya melekat dalam diri seorang politisi. Statusnya yang juga seorang selebritas membuatnya tidak bisa dipecat. Johnson justru menyelamatkan Partai Konservatif ketika partai itu hancur karena gagal melaksanakan Brexit.

Sebelum Brexit, Johnson tidak dikenal publik internasional. Namun, di dalam negeri, ia salah seorang politisi terkenal karena karakteristiknya yang khas dan cenderung komikal. Karena itu, Johnson menjadi politisi yang terkenal tetapi tidak dapat dipahami. n ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement