Rabu 31 Jul 2019 13:32 WIB

Bangladesh Alami Wabah Demam Berdarah Terparah

Lebih dari 1.000 orang menderita demam berdarah di Bangladesh.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Ilustrasi nyamuk
Foto: Reuters
Ilustrasi nyamuk

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Lebih dari 1.000 orang di Bangladesh didiagnosis menderita demam berdarah dalam 24 jam terakhir, Selasa (30/7) waktu setempat. Sebagian besar di antaranya adalah anak-anak. Demam berdarah kali ini muncul sebagai wabah terburuk yang pernah dicatatkan negara.

Pemerintah mencatat, sudah delapan orang meninggal dunia sejak Januari akibat demam berdarah. Sementara lebih dari 13.600 pasien telah didiagnosis dengan demam yang ditularkan nyamuk sepanjang tahun ini. Pada Juli, sebanyak 8.348 kasus, atau lebih dari setengahnya kasus demam berdarah muncul yang merupakan peningkatan tajam dari 1.820 kasus di Juni dan 184 kasus pada Mei tahun ini.

Baca Juga

"Sejak kami mulai menyimpan catatan kasus demam berdarah, yaitu dari tahun 2000, ini adalah wabah demam berdarah terburuk yang pernah kami lihat di Bangladesh," kata Asisten Direktur Direktorat Jenderal Layanan Kesehatan Bangladesh, Ayesha Akhter kepada CNN.

Lebih dari 50 distrik di seluruh negeri terkena dampak demam berdarah. Ibu kota Bangladesh, Dhaka yang menampung lebih dari 20 juta orang adalah kota yang paling parah dilanda demam berdarah. 

Menurut Akhter, beberapa rumah sakit berjuang untuk menemukan ruang bagi para pasien. "Kami memastikan semua rumah sakit pemerintah dan swasta memiliki semua sumber daya untuk mengatasi wabah ini. Kami telah membuka bagian khusus di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Medis Dhaka untuk pasien demam berdarah," kata Akhter.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, infeksi virus demam berdarah menyebabkan gejala seperti flu, termasuk sakit kepala yang menusuk, nyeri otot dan persendian, demam, dan ruam seluruh tubuh. Dari jutaan orang yang terinfeksi dengue setiap tahun di seluruh dunia, diperkirakan 500 ribu mengalami gejala parah yang memerlukan rawat inap hingga 12.400 dari mereka meninggal.

Divisi Pengendalian Penyakit pemerintah Bangladesh pun telah meminta bantuan teknis dari WHO dalam menerapkan metode pengendalian populasi nyamuk. Pemerintah berupaya untuk membantu menghambat penyebaran penyakit tingkat nasional ini.

Selain itu, Kementerian Kesehatan Bangladesh mengatakan telah mengembangkan pedoman pengobatan nasional. Kementerian juga berupaya meningkatkan kesadaran penyakit melalui iklan harian di surat kabar, di samping langkah-langkah lain untuk mengatasi penyebaran penyakit.

Dilansir CNN, wabah penyakit di Bangladesh terjadi ketika negara-negara di seluruh Asia bergulat dengan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh nyamjk, seperti demam berdarah dan malaria. Masalah tersebut belakangan meningkatkan kekhawatiran akan potensi darurat kesehatan global.

Dua penelitian di Lancer menemukan, jenis malaria yang kebal terhadap beberapa obat telah berevolusi dan menyebar ke seluruh Thailand, Kamboja, Laos, dan Vietnam. Para peneliti mengatakan tekanan tersebut telah menghasilkan obat yang banyak digunakan, dihydroartemisinin-piperaquine (DHA-PPQ), menjadi tidak efektif yang menyebabkan tingginya tingkat kegagalan pengobatan.

Sementara itu, Filipina mengumumkan peringatan demam berdarah nasional pada Juli setelah lonjakan kasus tahun ini. Sekitar 100 ribu kasus demam berdarah dilaporkan di seluruh negeri dalam enam bulan pertama pada 2019. Angka itu meningkat 85 persen pada periode yang sama tahun lalu.

Demam berdarah memang paling umum terjadi di daerah beriklim tropis dan sub-tropis seperti Bangladesh, India, dan Brasil. Namun, kekhawatiran berkembang pemyakit ini dapat menyebar ke bagian-bagian dunia yang biasanya tidak terpengaruh oleh penyakit yang tumbuh cepat termasuk Amerika Serikat bagian selatan, pedalaman Australia dan pesisir  wilayah China dan Jepang.

Penelitian baru-baru ini menemukan bahwa kenaikan suhu global yang disebabkan oleh krisis iklim dapat memicu nyamuk betina aedes aegypti yang membawa demam berdarah bersama dengan penyakit lain seperti chikungunya, demam kuning, dan Zika yang bermigrasi ke bagian-bagian dunia.

"Tidak ada pengobatan khusus untuk demam berdarah, tetapi deteksi dini dan akses ke perawatan medis yang tepat menurunkan tingkat kematian hingga di bawah 1 persen," menurut WHO.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement