Senin 05 Aug 2019 02:32 WIB

Babak Baru Pembicaraan Perdamaian AS dan Taliban

Negosiasi telah dilakukan delapan kali selama satu tahun.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ratna Puspita
Petempur Taliban berkumpul bersama warga di distrik Surkhroad, Provinsi Nangarhar, Kabul, Afghanistan.
Foto: AP Photo/Rahmat Gal
Petempur Taliban berkumpul bersama warga di distrik Surkhroad, Provinsi Nangarhar, Kabul, Afghanistan.

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Amerika Serikat (AS) dan Taliban kembali berupaya menyelesaikan pembicaraan menyoal perjanjian perdamaian untuk mengakhiri konflik 18 tahun di Afghanistan. Hal itu dilakukan pada putaran pembicaraan terbaru di Ibu Kota Qatar, Doha, Ahad (4/8) waktu setempat.

Seperti dilansir Aljazirah, negosiasi telah dilakukan delapan kali selama satu tahun. Kali ini, negosiasi dimulai Sabtu, dan dilanjutkan Ahad pagi waktu setempat. Sumber dari Taliban mengatakan, kedua belah pihak tengah mengupayakan mengatur pertemuan langsung antara utusan AS untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad dan pendiri Taliban Mullah Baradar.

Baca Juga

AS menginginkan Taliban menjamin bahwa Afghanistan tidak akan menjadi surga bagi para teroris. Sementara pihak Taliban fokus memastikan penarikan semua pasukan asing pimpinan AS dari negara itu.

Juru Bicara Taliban Suhail Shaheen mencicit melalui akun resmi Twitter mengatakan, perjanjian selesai jika semua pasukan saing keluat dari Afghanistan dalam periode waktu tertentu dan membuka pintu untuk pembicaraan dengan pemerintah Afghanistan.

AS dan Perwakilan Taliban telah mengadakan pembicaraan selama hampir satu tahun. Namun, sejauh ini menolak untuk berbicara dengan pemerintah Afghanistan. Taliban menyebut pemerintah Afghanistan sebagai rezim boneka dari Barat.

Washington berharap untuk mencapai kesepakatan damai dengan Taliban pada 1 September mendatang, yang menjelang pemelihan umum Afghanistan pada bulan yang sama September, dan pemilihan presiden AS pada tahun 2020. Namun, kesepakatan apa pun mengharuskan Taliban untuk berbicara dengan Kabul.

"Kami sedang mengejar perjanjian damai bukan perjanjian penarikan, perjanjian damai yang memungkinkan penarikan," kata Khalilzad ketika ia tiba di Doha usai pembicaraan dengan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan di Islamabad.

"Kehadiran kami di Afghanistan adalah berdasarkan kondisi, dan penarikan apa pun akan didasarkan pada kondisi," ia menambahkan.

Bulan lalu, Taliban dan pejabat senior Afghanistan mengadakan pembicaraan intra-Afghanistan di Doha. Isi pembicaraan itu adalah perjanjian untuk memberikan "peta jalan bagi perdamaian" di Afghanistan.

Dalam tanda lain dari kemajuan perdamaian, pemerintah Afghanistan telah membentuk tim negosiasi untuk pembicaraan terpisah dengan Taliban. Harapannya dapat diadakan pada awal bulan ini.

The Washington Post melaporkan Kamis lalu bahwa kesepakatan awal untuk mengakhiri perang akan dilihat dari pasukan AS di Afghanistan yang dikurangi menjadi 8.000 dari level saat ini sekitar 14 ribu. Sebagai gantinya, Taliban akan mematuhi gencatan senjata, meninggalkan al-Qaeda dan berbicara dengan pemerintah Kabul.

Seorang pejabat Afghanistan mengisyaratkan pemerintah Presiden Ashraf Ghani tengah mempersiapkan pembicaraan langsung dengan Taliban, yang detailnya belum diumumkan. "Kami tidak memiliki prasyarat untuk memulai pembicaraan, tetapi perjanjian damai bukan tanpa syarat," tulis Ghani di Pashto di halaman Facebook-nya, Jumat.

"Kami menginginkan pemerintah republik, bukan sebuah emirat," katanya, sebuah tantangan bagi Taliban yang bersikeras untuk kembali ke nama "Emirat Islam" yang dikenakan Afghanistan di bawah kekuasaannya.

Meskipun telah dilakukan negosiasi, pertempuran belum mereda, karena tingkat korban sipil di Afghanistan kembali ke level rekor bulan lalu. Lebih dari 1.500 warga sipil tewas atau terluka dalam konflik pada Juli. Angka itu adalah jumlah korban tertinggi sejauh ini pada tahun 2019.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement