Senin 05 Aug 2019 08:49 WIB

"Data Dijual Untuk Buat Enam Perusahaan": Kasus Penjualan Data Pribadi di Indonesia

Terbongkarnya dugaan jual beli data pribadi bermula dari cuitan netizen di Twitter

Red:
abc news
abc news

Dua pekan terakhir, jagat dunia maya Indonesia diwarnai perbincangan mengenai jual beli data pribadi. Bermula dari cuitan seorang netizen, dugaan penyalahgunaan data pribadi warga kini ramai disoroti. Korban dan beberapa pihak lainnya menilai, jaminan hukum yang melindungi data pribadi sudah saatnya hadir.

Poin utama:

  • Terbongkarnya dugaan jual beli data pribadi bermula dari cuitan netizen di Twitter
  • Ada 93,8 juta warga Indonesia yang sudah memiliki nomor induk kependudukan dan terancam disalahgunakan data pribadinya
  • Kelompok aktivis menuntut segera disahkannya RUU Perlindungan Data Pribadi

Perbincangan jual beli data pribadi seperti KTP (kartu tanda penduduk) dan NIK (nomor induk kependudukan) pertama kali dibincangkan oleh seorang netizen @hendralm di akun Twitter pribadinya (25/7/2019).

Cuitan itu ramai ditanggapi. Satu-persatu, netizen menceritakan pengalaman pribadi mereka dan ditimpali netizen lainnya.

 

Apalagi, akun @hendralm mengunggah foto layar dari dugaan aksi jual-beli data pribadi dari sebuah grup tertutup di media sosial di mana ia menjadi anggotanya.

Kepada ABC, sang pemilik akun @hendralm -Samuel Christian -mengatakan semua cuitannya dan ihwal bergabungnya ia dalam grup tersebut bermula dari kecurigaan.

"Saya gabung grup itu karena teman saya ada yang kena tipu."

"Grup itu sekilas seperti grup jual beli berbagai barang. Tapi terus saya perhatian ada yang comment jual KTP dan KK."

"Bahkan ada yang tulis punya KK satu kecamatan. Itu kan gila," ujarnya melalui sambungan telepon.

Postingan berseri @hendralm juga menarik perhatian Adi, bukan nama sebenarnya.

Adi (43) tertarik karena ia merasa postingan yang akhirnya viral itu memiliki kesamaan cerita dengan peristiwa yang dialaminya.

Menyimak sejumlah komentar, ia merasa tak sendiri. Ada korban lain selain dirinya, meski dengan jalan cerita yang berbeda.

Pekan lalu, ABC menghubungi Adi -warga ber-KTP Banyuwangi, Jawa Timur, yang mengaku berprofesi pekerja lepas dan mantan pengusaha. Ia lantas menuturkan kisahnya.

Hari itu, pada bulan Desember 2017, mertuanya menelepon mengabarkan ia kedatangan petugas pajak yang menyampaikan tunggakan pajak atas nama Adi dengan jumlah fantastis.

"Total transaksinya sebesar 32 miliar."

"Saya kaget, saya telepon orang pajak, saya bilang 'ini apa-apaan, ini apa? Saya punya perusahaan kan sudah saya tutup, NPWP-nya sudah saya hapus.' Dulu saya punya perusahan tapi bangkrut."

"Lalu orang pajak bilang 'maaf pak ini bukan perusahaan tapi NPWP pribadi bapak yang masuk'. Hah? NPWP pribadi, saya kan bingung."

Ia panik bukan kepalang dan terheran-heran mengapa dirinya terlibat dalam transaksi puluhan miliar yang tak pernah dilakukannya. Apalagi surat dari kantor pajak datang beruntun.

Adi juga mengaku ia tak pernah terlibat dalam pinjaman online apapun sehingga situasi yang ia alami dirasa makin membingungkan.

Berdasarkan penelusurannya, transaksi itu melibatkan 6 perusahaan dengan jenis usaha yang berbeda.

"Ada pakan ternak, ada tekstil, macam-macam. Saya bingung, kenapa pakai identitas saya? Lagipula jumlah besar seperti itu, untuk apa?," katanya.

Berbekal bantuan teman dan petugas pajak, Adi mengaku telah menemukan sang pelaku transaksi yang, menurutnya, mendapatkan data pribadinya dari internet.

"Si pelaku bilang ada beberapa data yang dikasih ke dia, tapi yang dipilih saya."

"Dia hanya mengakui belanja pada satu perusahaan sedangkan data di pajak ada 6 perusahaan."

"Berarti masih ada pelaku lainnya."

Ia berharap agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi segerah disahkan agar tak ada korban lain selain dirinya.

Tuntut RUU Perlindungan Data Pribadi disahkan

 

KTP dan NIK tergolong data pribadi seorang warga, yang seharusnya tak boleh disebarluaskan.

Menurut Cendy Adam, anggota Kelompok Kerja Identitas Hukum, ada sekitar 31 data pribadi yang dilakukan warga Indonesia.

"Mulai dari nama, alamat, nama orang tua, NIK, jenis kelamin dan sebagainya."

"Elemen-elemen ini yang digunakan sebagai data kependudukan kalau di Undang-Undang," jelasnya dalam konferensi pers bersama Koalisi Advokasi Perlindungan Data Pribadi di Jakarta (2/8/2019).

Cendy menerangkan, berdasarkan data survei ekonomi-sosial nasional Indonesia tahun 2018, warga yang sudah memiliki NIK di negara ini mencapai 93,8 juta.

Ditemui dalam forum yang sama, Kepala Bidang Advokasi LBH Pers -Gading Yonggar Ditya -mengatakan warga sebagai pemilik data pribadi berhak untuk mengetahui sejauh mana penggunaan data pribadi mereka yang ada di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, dan sejauh mana data itu digunakan oleh pihak swasta.

"Nah permohonan informasi publik yang rencananya akan kita sampaikan ke pihak Dukcapil nanti, itu sebagai bentuk kontrol publik kepada Dukcapil dan pihak swasta, untuk kita tahu juga sejauh mana Dukcapil dan swasta menggunakan data pribadi kita."

Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, kata Gading, perjanjian-perjanjian antara institusi (Pemerintah) dengan swasta yang isinya mengandung kepentingan publik, bisa dikategorikan kepentingan publik.

Sementara itu, Jeanny Silvia Sari Sirait dari LBH Jakarta memaparkan ada sekitar 5000 kasus yang ditangani pihaknya terkait perlindungan data pribadi.

"Tapi kalau kita mau tahu siapa pelakunya? Maka kita bisa bilang bahwa pelakunya adalah negara."

"Kenapa? enggak ada aturan terkait hal itu. Negara yang tahu ini ada masalah dan tidak dengan segera mengatur dengan baik, maka negara sendiri melanggengkan penyebaran data pribadi itu secara sewenang-wenang dan ada pembiaran di sana yang dilakukan di sana," ujarnya bersemangat.

Jenny menegaskan, selain negara, pelaku penyalahgunaan data pribadi adalah pelaku usaha.

"Kita enggak tahu berapa pelaku usaha yang menampung data pribadi kita dan kita enggak tahu penampungannya aman atau enggak. Tapi itupun sekali lagi dilanggengkan oleh negara," ucap pengacara perempuan yang turut menangani kasus persekusi akibat pinjaman online ini.

Sama seperti Kelompok Kerja Identitas Hukum dan LBH Pers, LBH Jakarta juga merupakan bagian dari Koalisi Advokasi Perlindungan Data Pribadi yang menuntut agar RUU Perlindungan Data Pribadi segera diketok palu.

Ke depannya, payung hukum ini diharapkan bisa mengatur pengelolaan data pribadi secara komperehensif.

Koalisi, yang terdiri dari 19 organisasi, tersebut juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengkaji ulang perjanjian kerjasama pemberian akses data kependudukan kepada 1227 lembaga pengguna.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement