Kamis 08 Aug 2019 05:01 WIB

Warga Kashmir yang Terkekang Jelang Idul Adha

Komunikasi dibatasi dan polisi menggeledah hotel meminta turis pergi.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ani Nursalikah
Pendukung Partai Jamaat-e-Islami Pakistan memprotes tindakan India mencabut pasal 370 mengenai otonomi Kashmir di Lahore, Pakistan, Selasa (6/8).
Foto: AP Photo/K.M. Chaudhry
Pendukung Partai Jamaat-e-Islami Pakistan memprotes tindakan India mencabut pasal 370 mengenai otonomi Kashmir di Lahore, Pakistan, Selasa (6/8).

REPUBLIKA.CO.ID, KASHMIR -- Menjelang Hari Raya Idul Adha, warga Kashmir yang mayoritas Muslim masih terkekang dengan dibatasinya telekomunikasi hingga penahanan para pemimpin politik pro-India serta kekhawatiran perubahan demografi. Hal itu terjadi sepekan setelah pemerintah India memperingatkan kemungkinan adanya serangan militan yang berpusat di Pakistan.

Namun, Pakistan menolak tuduhan itu. "Kami tidak akan merayakan Idul Adha kali ini. Ini adalah situasi berkabung. Di bawah konspirasi yang terencana dengan baik, umat Islam di wilayah ini akan dihukum," kata seorang pengusaha Ahmed, yang hanya memberikan nama depannya, dilansir Aljazirah, Rabu (6/8).

Baca Juga

Sebelum India mengakhiri status istimewa Kashmir, puluhan ribu pasukan India dikerahkan untuk mengekang potensi pemberontakan. Sekitar setengah juta pasukan sudah ditempatkan di sana. 

Warga Kashimir yang terkekang mulai Ahad lalu, dibatasi alat komunikasinya, dan pemerintah India juga memberlakukan pembatasan gerakan. Khawatir adanya pemberontakan massal, India memerintahkan para peziarah dan wisatawan Hindu pergi dari Khasmir. Pemerintah India menyebutnya ancaman teror. 

Polisi menggeledah hotel dan rumah wisata meminta turis pergi. Polisi juga menyerukan imbauan perjalanan bagi warga Inggris, Jerman, Israel, dan Australia agar tidak berlibur di wilayah tersebut.

"Saya menghabiskan satu bulan di sini dan bertemandengan banyak orang. Perasaan saya mengatakan apa yang dilakukan pemerintah India adalah sesuatu yang bukan untuk kepentingan rakyat Kashmir," kata seorang turis AS kelahiran Kanada Rachel Jones (41 tahun).

Meski diusir dari Kahsmir, Jones memutuskan tetap kembali. Ia merasa kehadirannya sangat penting untuk menunjukkan solidaritas pada orang Kashmir.

Turis dari negara bagian Goa Anuja Bose kecewa karena rencana bepergian di wilayah Kashmir terpotong karena adanya imbauan pergi dari sana. "Sejauh ini, saya telah menjadi seorang musafir di lembah Kashmir. Orang-orang di sini luar biasa," kata Bose.

Pemilik hotel menilai pemerintah India telah membunuh bisnis mereka di daerah yang memang ekonominya sudah tidak baik. "Kami melakukan bisnis yang baik. Kini, tidak lagi," kata seorang pemilik wisma di lingkungan Dal Gate Jehangur Ahmed (33)

Para pakar menilai, langkah India sama seperti halnya pengaturan gaya Tepi Bara dimana pemukim memaksa dan memeras penduduk setempat dari lingkungan mereka. "Kami telah menghadapi kekejaman sejak empat dekade terakhir, namun kini saya benar-benar khawatir tentang masa depan anak-anak saya. Apa yang akan mereka hadapi?" Kata seorang pengusaha Waseem Wani (32).

"Ketika saya memikirkan semua ini, gambar anak-anak Palestina muncul di benak saya dan saya menangis. India palsu setelah 70 tahun. Tapi kami tidak akan membiarkan Kashmir menjadi Palestina lainnya," kata dia.

Sejak India merdeka dari jajahan Inggris 1947, Kashmir terpecah untuk dua pertiga India, sementara sisanya termasuk wilayah otoritas Pakistan. Keduanya dipisahkan oleh garis yang disebut Line of Control (LoC).

Wilayah Himalaya yang indah itu menjadi sengketa oleh India dan Pakistan, yang telah berperang dua kali sejak 1947. Pemberontak bersenjata dan pengunjuk rasa sipil menginginkan kemerdekaan Kashmir atau penggabungan dengan Pakistan melalui pemungutan suara umum yang didukung PBB. Pemberontakan berintensitas rendah terhadap pemerintahan India pun telah membara sejak tahun 1989 yang sejak itu  menyebabkan puluhan ribu orang yang kebanyakan warga sipil terbunuh.

Kendati demikian, Pakistan menegaskan, jika India mencoba mengubah demografi Kashmir dengan menempatkan lebih banyak orang India di sana, hal itu dapat mengubah hasil pemungutan suara di masa yang akan datang.

Usai pencabutan otonomi, penduduk setempat khawatir perubahan demografis yang diharapkan pemerintah, tidak akan terhindarkan di wilayah mayoritas Muslim. "Kekhawatiran kami yang lebih besar adalah negara bisa mengubah kami menjadi minoritas. Masa depan tampak suram," kata Nabi Khan (65).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement