Selasa 13 Aug 2019 10:40 WIB

Kemenlu Pastikan WNI di Hong Kong Aman

WNI di Hong Kong diimbau menghindari lokasi demonstrasi.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Penumpang memeriksa informasi penerbangan di meja pelayanan di Bandara Internasional Hong Kong, Hong Kong, Senin (12/8).
Foto: AP Photo/Vincent Thian
Penumpang memeriksa informasi penerbangan di meja pelayanan di Bandara Internasional Hong Kong, Hong Kong, Senin (12/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana harian Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, hingga kini kondisi Warga Negara Indonesia (WNI) di Hong Kong masih dalam keadaan aman. Hal itu menyusul aksi demonstrasi yang berlarut-larut di area penting Hong Kong termasuk bandara.

"Sampai saat ini kondisi WNI aman, namun kami mengimbau agar tetap waspada dan berhati-hati," ujar Judha saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (13/8).

Baca Juga

Pihak Kemenlu dan KJRI juga telah membuat imbauan kepada WNI yang menetap di Hong Kong melalui website resmi, media sosial resmi, serta aplikasi Safe Travel Kemenlu.

Judha juga mengimbau bagi WNI untuk menghindari lokasi berkumpulnya massa aksi demonstrasi serta tidak ikut serta kegiatan politik. "WNI harus senantiasa memantau informasi dan imbauan dari otoritas setempat dan KJRI Hong Kong," kata dia. Saat ini, tercatat 174.800 WNI berada di Hong Kong. 

Gelombang demonstrasi Hong Kong yang telah berjalan hampir sepuluh pekan itu dipicu oleh Rancangan Undang-undang (RUU) Ekstradisi yang dianggap sebagai upaya untuk memperluas dan memperkuat pengaruh Bejing atas kota itu. Dengan ketentuan dalam RUU tersebut, orang-orang yang dianggap melakukan kejahatan dapat diadili secara langsung di China daratan. 

Protes menentang undang-undang ekstradisi sejak itu berubah menjadi gerakan yang lebih luas terhadap pemerintah Hong Kong, kebrutalan polisi dan perambahan Beijing pada otonomi kota. Aksi tersebut menjadi salah satu krisis politik paling serius, sejak Hong Kong dikembalikan ke China oleh Inggris pada 1997, dengan ketentuan ‘satu negara dua sistem’ yang berarti Hong Kong dapat mempertahankan hak-hak khusus untuk kota tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement