Senin 05 Aug 2019 17:39 WIB

Puluhan Perusahaan Asing Berisiko Terlibat Bantai Rohingya

Tim pencari fakta PBB mengungkap perusahaan asing bermitra dengan militer Myanmar.

Red: Nur Aini
Ketua Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar, Marzuki Darusman, memberikan konferensi pers seusai menyampaikan laporannya dalam sidang 36 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa, (19/9).
Foto: Antara/Reuters/Denis Balibouse
Ketua Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar, Marzuki Darusman, memberikan konferensi pers seusai menyampaikan laporannya dalam sidang 36 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa, (19/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Fact-Finding Mission) mengungkap puluhan perusahaan asing dari Asia dan Eropa berisiko terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar, melalui kemitraan bisnis dengan dua perusahaan, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC).

Ketua tim, Marzuki Darusman, saat ditemui usai menyampaikan laporan, mengatakan dua perusahaan itu dikuasai oleh angkatan bersenjata Myanmar atau Tatmadaw, dan diduga jadi sumber pendanaan untuk operasi militer yang melanggar HAM dan hukum internasional di Rakhine.

Baca Juga

"Tujuan pokok dari laporan adalah ingin menunjukkan ada hubungan langsung antara bisnis dengan pelanggaran HAM. Selama delapan bulan meneliti, ditemukan suatu gambaran luar biasa dari jangkauan bisnis (yang dikendalikan) angkatan bersenjata Myanmar, Tatmadaw," kata Marzuki di Jakarta, Senin (5/8).

Temuan tim pencari fakta PBB menunjukkan puluhan perusahaan asing yang membangun kemitraan dengan MEHL dan MEC di antaranya berasal dari China, India, Vietnam, Singapura, Korea Selatan, Libanon, Jepang, Malaysia, Belgia, Prancis, Thailand, Taiwan-China, Hong Kong-China, Swiss, Israel, Rusia, Ukraina, Korea Utara, Seychelles, dan Filipina. Hubungan dagang itu terdiri atas 15 kongsi dagang (joint venture) dan 44 perjanjian bisnis (commercial ties) yang bergerak di bidang tambang dan energi, manufaktur, pariwisata, konstruksi, properti, tembakau, informasi dan telekomunikasi, transportasi dan penyimpanan, ritel, penelitian dan pengembangan, serta keuangan dan asuransi.

"Laporan ini ingin mematahkan kebisuan mengenai tentara Myanmar yang diduga memiliki jaringan bisnis dengan berbagai kalangan. Dugaan bisnis itu telah dihapus menjadi keyakinan bahwa jaringan usaha Tatmadaw jadi landasan kemampuan militer Myanmar untuk melakukan operasi militer atau tindakan pelanggaran HAM secara serius," ujar Marzuki.

Oleh karena itu, Marzuki mengimbau perusahaan internasional yang bermitra dengan MEHL dan MEC segera meninjau kembali hubungan bisnisnya itu agar usahanya tidak menguntungkan Tatmadaw, pihak yang diyakini bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM di Rakhine.

"Seluruh perusahaan yang membeli barang atau bermitra dengan perusahaan asal Myanmar agar segera melakukan peninjauan kembali terhadap usahanya guna memastikan mereka tak menguntungkan Tatmadaw," kata Marzuki.

Tim Pencari Fakta merupakan satuan kerja independen yang diberi mandat oleh Dewan HAM PBB pada 24 Maret 2017 untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar. Tim yang diketuai oleh Marzuki Darusman telah menyiarkan beberapa laporan mengenai dugaan pelanggaran HAM pada September 2018, Maret 2019, dan Mei 2019 melalui laman www.ohchr.org

Sementara itu, laporan lengkap mengenai hubungan jaringan bisnis di Myanmar dengan pelanggaran HAM yang diluncurkan di Jakarta, Senin, akan disampaikan tim pencari fakta di depan Dewan HAM PBB pada September 2019.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement