Senin 19 Aug 2019 10:34 WIB

Status Warganegara Jutaaan Muslim India Terancam

Warga Muslim yang minoritas di India merasa kian dicekam rasa takut

Tentara paramiliter India berjaga saat Muslim Kashmir menunaikan shalat Jumat di jalan di luar masjid setempat saat jam malam di Srinagar, India, Jumat (16/8).
Foto: AP Photo/Mukhtar Khan
Tentara paramiliter India berjaga saat Muslim Kashmir menunaikan shalat Jumat di jalan di luar masjid setempat saat jam malam di Srinagar, India, Jumat (16/8).

REPUBLIKA.CO.ID, ASSAM -- Lebih dari empat juta warga India, sebagian besar Muslim, terancam kehilangan status kewarganegaraan mereka. Mereka dapat saja dinyatakan sebagai migran asing meski mereka tinggal lebih di India dan memiliki sejumlah hak laiknya warga negara India, termasuk ikut pemilihan umum (pemilu).

Laman the Independent melaporkan, ada pemeriksaan besar-besaran terhadap orang berstatus migran di negara bagian Assam. Assam adalah negara bagian dengan mayoritas populasi yang miskin dan berlokasi dekat perbatasan Myanmar dan Bangladesh.

Banyak orang yang dipertanyakan status kewarganegaraan mereka adalah orang yang lahir di India. Proses peradilan untuk orang asing yang dilakukan pemerintah negara bagian Assam meningkat pesat. Pemerintah bahkan berencana membangun kamp penahanan baru yang besar.

The Independen melaporkan, ratusan orang ditahan karena dicurigai sebagai migran asing. Di antara mereka bahkan terdapat seorang Muslim berstatus pensiunan dari Angkatan Darat India.

Para pengacara dan aktivis setempat menyatakan, ancaman kehilangan status warga negara India dan kemungkinan dijebloskan ke dalam tahanan telah membuat puluhan orang melakukan bunuh diri. Tapi, Barathiya Janata Party (BJP), partai berkuasa tempat Perdana Menteri India Narendra Modi, tak ingin menyurutkan langkah.

BJP bahkan bersumpah akan meningkatkan kampanye ini ke negara bagian lain di India. Mereka ingin memaksa orang-orang tersebut membuktikan bahwa mereka adalah warga negara India. Program ini akan menjadi bagian dari program nasionalis Hindu yang dipicu oleh kemenangan kembali Modi dalam pemilu Mei lalu.

Kini, semakin hari, warga Muslim yang minoritas di India merasa kian dicekam rasa takut. Pemerintah Assam akan menyelesaikan proses dokumentasi kewarganegaraan populasi mereka pada 31 Agustus ini.

Proses dokumentasi ini sebenarnya telah dimulai beberapa tahun yang lalu. Warga Assam yang berjumlah 33 juta harus menunjukkan bukti berupa dokumen bahwa mereka atau leluhur mereka adalah warga India sebelum awal 1971, yaitu sebelum Bangladesh berdiri setelah lepas dari Pakistan.

Namun, proses tersebut tidaklah mudah. Kini, mereka harus mencari dokumen berusia puluhan tahun atau mencari bukti kepemilihan properti mereka yang menunjukkan bahwa lelulur mereka memang warga India.

Bagi Muslim India, kekhawatiran ini bertepatan dengan pukulan lain yang dirasakan Muslim India yang jaraknya lebih dari 1.000 kilometer dari tempat mereka, yaitu negara bagian Jammu dan Kashmir. Pada 5 Agustus Modi secara sepihak mencabut status otonomi negara bagian Jammu dan Kashmir, satu-satunya negara bagian dengan mayoritas populasi Muslim. Ini berarti, Modi menyatakan, pasal 370 Konstitusi India tidak lagi berlaku.

Keesokan harinya, 6 Agustus, Modi melangkah lebih jauh dengan mencabut juga status negara bagian Jammu dan Kashmir. Negara bagian tersebut dipecah menjadi dua wilayah berstatus union territory, yaitu Jammu dan Kashmir serta Ladakh. Semua itu dilakukan tanpa berkonsultasi dengan para pemimpin setempat. Bahkan, banyak di antara tokoh di Kashmir ditahan.

photo
Muslim India melaksanakan Shalat Jumat di sebuah masjid di New Delhi, India, Jumat (18/5).

Masih dibatasi

Pemerintah India menyatakan, sejak Sabtu (17/8) mereka telah memulihkan saluran telepon dan memperlonggar pengamanan di Kashmir yang telah berlangsung sejak 4 Agustus. Tapi, hingga Ahad (18/8), pembatasan masih diberlakukan di sebagian besar wilayah Kashmir yang dikuasai India.

Sambungan telepon selular dan layanan internet mulai pulih di sejumlah wilayah. Tapi, Associated Press melaporkan bahwa hal itu hanya terjadi di kawasan Jammu yang mayoritas populasi umat Hindu dan tidak ada ancaman unjuk rasa anti-India.

Personel militer masih terlihat berjaga di jalanan lengang di Srinagar, kota terbesar Kashmir. Sedangkan, warga juga masih belum banyak terlihat berlalu lalang di jalan.

Namun, kantor berita Press Trust of India melaporkan, pihak berwenang memberlakukan kembali pembatasan di sejumlah wilayah Srinagar. Hal ini dilakukan setelah terjadi kekerasan meletup pada Sabtu.

Pada Ahad sekitar 300 warga Kashmir baru pulang berhaji. Banyak di antara mereka yang merasa emosional saat bertemu kembali sanak saudara yang menjemput mereka di bandara. Pengamanan ketat di Kashmir dua pekan terakhir membuat orang-orang yang sedang bepergian tak dapat berkomunikasi dengan sanak saudara di Kashmir.

"Tak satu pun dari kami atau saudara kami tahu apakah kami hidup atau mati," tutur Muhammad Ali yang baru pulang dari berhaji.

Kashmir menjadi wilayah yang diperebutkan India dan Pakistan sejak 1947. Kesepakatan yang dimediasi PBB memutuskan dua pertiga Kashmir masuk India dan sepertiga Kashmir masuk Pakistan.

PBB masih berutang janji pada warga Kashmir yaitu menggelar referendum untuk menentukan nasib sendiri. Warga Kashmir umumnya terbagi dua, yaitu berdiri sendiri atau bergabung dengan Pakistan.

Sementara itu, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan meminta PBB untuk mengawasi Kashmir yang kini terkurung. Kondisi saat ini, cicitnya di Twitter, seharusnya menjadi pengingat dunia dan pengamat PBB seharusnya dikirimkan ke sana.

Namun, Menteri Pertahanan India Rajnath Singh menampik gagasan tersebut. Menurutnya, jika ada pengawasan maka hanya akan ada di Kashmir bagian Pakistan, bukan Kashmir bagian India.

Sementara itu, warga masih kesulitan mendapatkan barang kebutuhan sehari-hari. Nazir Ahmad, pensiunan teknisi yang kini tinggal di Srinagar mengatakan pada Sabtu, warga masih kesulitan membeli sayuran, susu, dan obat-obatan. Ayahnya sakit dan membutuhkan obat yang harus rutin diminum.

"Tidak ada internet, telepon, komunikasi, atau transportasi," kata Ahmad yang menyebut hidup mereka, seperti terkurung. "Kami hidup seperti binatang."

"Saya memohon kepada semua orang agar datang dan selesaikan masalah ini. Tak seorang pun berani keluar rumah," katanya. n ap, ed: Yeyen Rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement