Jumat 02 Aug 2019 15:35 WIB

Pemerintah Suriah Setuju Gencatan Senjata di Idlib

Pengumuman gencatan senjata terjadi setelah beberapa pekan pengeboman di Idlib.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Asap membumbung setelah serangan udara pasukan Suriah dan Rusia mengenai kota al-Habeet, selatan Idlib, Suriah, Ahad (19/5).
Foto: Syrian Civil Defense White Helmets via AP, File
Asap membumbung setelah serangan udara pasukan Suriah dan Rusia mengenai kota al-Habeet, selatan Idlib, Suriah, Ahad (19/5).

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Pemerintah Suriah menyetujui gencatan senjata di wilayah barat laut Idlib dengan syarat kesepakatan zona penyangga Turki-Rusia dilaksanakan, Kamis (1/8). Hal tersebut disampaikan kantor berita negara Suriah, SANA.

Pengumuman terjadi setelah beberapa pekan pengeboman di Idlib. Ini terjadi saat pembicaraan dilanjutkan di Kazakhstan antara Turki yang mendukung pemberontak dan sekutu pemerintah Suriah, Rusia, dan Iran.

Baca Juga

SANA mengutip sumber militer Suriah yang mengumumkan persetujuan pemerintah untuk gencatan senjata di zona de-eskalasi di Idlib mulai malam ini. Pemerintah Suriah mengajukan syarat gencatan senjata, yakni pemberontak menarik pasukan, dan persenjataan dari zona penyangga berdasarkan pada perjanjian September yang dilakukan di Sochi, Rusia.

Perjanjian Sochi menyatakan zona penyangga di wilayah 15 hingga 20 kilometer persegi seharusnya memisahkan pasukan dan pemberontak Suriah di Idlib, dan akan diawasi oleh pasukan Rusia dan Turki. Utusan khusus Rusia untuk Suriah, Alexander Lavrentyev menyatakan Moskow menyambut baik keputusan itu.

"Tentu saja, kami menyambut keputusan pemerintah Suriah untuk memperkenalkan gencatan senjata," kata Lavrentyev, dilansir dari Aljazirah, Jumat (2/8).

Sebagian besar provinsi Idlib dan sebagian Hama, Aleppo, dan Latakia dikendalikan oleh Hay'et Tahrir al-Sham, sebuah kelompok bersenjata yang dipimpin bekas afiliasi Alqaidah Suriah. Wilayah itu seharusnya dilindungi dari serangan besar-besaran pemerintah oleh kesepakatan Turki-Rusia yang terjadi pada September di Rusia.

Namun, kesepakatan itu goyah dan pasukan Suriah bersama dengan Rusia telah meningkatkan pengeboman mereka di sana sejak akhir April. Pemerintah Presiden Suriah, Bashar al-Assad menuduh Turki mengingkari kesepakatan, yang menyediakan zona penyangga hingga 20 km antara kedua belah pihak bebas dari persenjataan berat dan sedang.

Sebelumnya pada Kamis, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memerintahkan penyelidikan terhadap penghancuran rumah sakit, sekolah dan fasilitas lainnya di Idlib, daerah yang dikuasai pemberontak besar terakhir di Suriah. Dewan penyelidikan internal akan menyelidiki penghancuran atau kerusakan fasilitas pada daftar dekonflikasi dan, fasilitas yang didukung PBB di daerah itu. Guterres juga meminta semua pihak yang terlibat bekerja sama dengan dewan setelah dibentuk.

Pernyataan yang dikeluarkan oleh Guterres, mengutip serangkaian insiden di Suriah barat laut sejak Rusia dan Turki menandatangani memorandum pada September 2018 tentang stabilisasi zona de-eskalasi Idlib.

Pesawat-pesawat Rusia dan Suriah terus menyerang daerah-daerah pemberontak di sekitar Idlib. Rumah sakit, sekolah, dan institusi lain telah terkena dampaknya.

Pekan lalu, pemerintah mengintensifkan serangan udara di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak, terutama di provinsi Idlib. Kepala biro politik tentara Suriah, Mayor Jenderal Hasan Hasan mengatakan pada Kamis, jalur militer untuk menghilangkan terorisme di utara sedang berlangsung.

Dia mengatakan kepada surat kabar pro-pemerintah al-Watan, akan lebih baik jika Moskow atau Teheran dapat menemukan solusi melalui pembicaraan dengan Ankara, yang pasukannya ditempatkan di barat laut. "Tetapi pada saat yang sama, ketika masalah menemui jalan buntu, maka tentara Suriah-Arab, yang membersihkan semua wilayah luas ini tidak akan berhenti sama sekali, baik di Idlib maupun di daerah mana pun," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement