Rabu 21 Aug 2019 10:11 WIB

Bangladesh Siap Repatriasi 3.500 Pengungsi Rohingya

Pemulangan dinilai masih terlalu dini.

Pengungsi Rohingya
Foto: AP Photo/Dar Yasin, File
Pengungsi Rohingya

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Sebanyak 3.500 pengungsi Rohingya di Bangladesh siap direpatriasi atau dipulangkan kembali ke Myanmar mulai Kamis (22/8). Pejabat Bangladesh dan Myanmar berencana memulangkan 300 orang Rohingya setiap harinya.

Pemulangan pengungsi terlaksana setelah dua tahun pengungsi melarikan diri dari kebrutalan militer Myanmar terhadap minoritas Muslim. Komisioner Pengungsi Bangladesh Mohammad Abdul Kalam optimistis soal proses pemulangan. "Ini akan menjadi proses bersama yang dipimpin UNHCR," kata Kalam, Senin (19/8).

Sementara itu, Dewan Keamanan (DK) PBB di New York, Amerika Serikat, akan menggelar sidang untuk membahas repatriasi ini pada Rabu (21/8). Diplomat yang dikutip Aljazirah menyebutkan, sidang digelar atas permintaan Prancis, Inggris, AS, Jerman, dan Belgia.

Upaya sebelumnya pada November 2018 dalam memulangkan 2.260 pengungsi Muslim Rohingya gagal. Pengungsi menolak untuk meninggalkan kamp tanpa jaminan keselamatan mereka. "Semuanya sudah siap. Titik transit darat telah disiapkan," ujar Kalam seperti dilansir Global Post, Selasa (20/8).

"Tidak ada yang akan dipaksa untuk kembali kecuali mereka secara sukarela," katanya menambahkan. Kalam mengatakan, para pejabat Myanmar dan PBB bertemu langsung dengan pengungsi terpilih untuk mendorong mereka kembali ke Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Juru bicara Pemerintah Myanmar, Zaw Htay, telah membuat daftar 3.450 pengungsi Rohingya dari jumlah total 22 ribu pengungsi yang akan dipulangkan. Zaw Htay mengatakan, para pejabat telah memeriksa daftar itu untuk menentukan apakah pengungsi itu tinggal di Myanmar dan apakah mereka terlibat dalam serangan terhadap militer.

"Kami telah bernegosiasi dengan Bangladesh untuk menerima 3.450 orang ini pada 22 Agustus," ujar Zaw Htay seraya menambahkan bahwa mereka akan dibagi menjadi tujuh kelompok untuk dipulangkan.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya yang kebanyakan wanita dan anak-anak melarikan diri dari Myanmar. Mereka menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penumpasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.

Berdasarkan laporan Ontario International Development Agency (OIDA), sejak 25 Agustus 2017 hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan Pemerintah Myanmar.

photo
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,

Ditahan Pemerintah

Sementara itu, kelompok advokasi Rohingya yang berbasis di Belanda, European Rohingya Council (ERC), menyatakan keprihatinan atas pemulangan pengungsi Rohingya yang masih prematur. "Myanmar sejauh ini gagal menyajikan kepada masyarakat Rohingya sebuah rencana pemulangan yang jelas, transparan, strategis, dan murni dari hampir 1 juta Rohingya (yang) selamat dari genosida Myanmar," kata ERC dalam sebuah pernyataan, dilansir Anadolu Agency, Selasa.

ERC menambahkan, repatriasi yang direncanakan oleh Myanmar tidak mungkin dilakukan. Pasalnya, masih ada penganiayaan terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, seperti pembatasan mobilisasi serta pembatasan mata pencarian maupun pendidikan. Bahkan, ratusan warga Rohingya masih dikurung di Internally Displaced Camps, yaitu kamp untuk orang telantar di dalam Myanmar.

ERC mendesak bantuan dari Bangladesh, badan pengungsi UNHCR, dan semua pemangku kepentingan agar Myanmar dapat melakukan repatriasi dengan aman serta bermartabat.

“Pemulangan berkelanjutan dimulai dengan membongkar kamp pengungsian dan memungkinkan Rohingya untuk kembali ke tempat asal mereka; penghapusan pembatasan gerakan; memberi Rohingya akses ke internet, pendidikan, dan mata pencarian; mengembalikan kewarganegaraan; dan datang dengan rencana pemulangan yang transparan, asli, dan terinformasi dengan baik," ujar ERC dalam pernyataannya.

Selain itu, ERC juga mendesak agar orang-orang Rohingya untuk bersatu sehingga tidak jatuh ke dalam perangkap program repatriasi palsu Myanmar. n fergi nadira/rizky jaramaya/reuters ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement