Kamis 22 Aug 2019 09:01 WIB

Mengapa Pengungsi Rohingya Tolak Dipulangkan ke Rakhine?

Myanmar harus segera hentikan kekerasan dan pembersihan etnis di Rakhine

Pengungsi Rohingya Myanmar.
Foto: Antara/Rahmad
Pengungsi Rohingya Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Para pengungsi Rohingya di Bangladesh menolak direpatriasi atau dipulangkan ke Myanmar. Mereka menilai belum ada jaminan keselamatan jika harus kembali ke desa asalnya di Negara Bagian Rakhine.

Komisaris pengungsi Bangladesh Abul Kalam mengatakan, 21 keluarga dari 1.056 yang dipilih untuk repatriasi bersedia diwawancarai oleh para pejabat tentang apakah mereka ingin kembali. Tak satu pun dari keluarga tersebut menyatakan keinginannya untuk pulang ke Rakhine.

“Kami ingin jaminan kewarganegaraan terlebih dahulu dan mereka harus memanggil kami Rohingya, lalu kami bisa pergi. Kami tidak bisa pergi tanpa hak kita,” kata Ruhul Amin, seorang kepala keluarga yang sempat diwawancarai komisi pengungsi Bangladesh dan Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR), dikutip laman the Guardian, Rabu (21/8).

Abul Kalam mengatakan, saat ini para pengungsi telah lebih leluasa dan terbuka saat diwawancarai. “Mereka pergi ke pejabat untuk wawancara dan berbicara dengan bebas. Ini sangat positif. Mereka sekarang memahami situasi dengan lebih baik,” ujarnya.

Namun, dia cukup mengerti alasan mengapa mereka masih segan untuk pulang ke Rakhine. “Masih ada hari esok. Saya berharap bahwa banyak keluarga lain akan diwawancara,” ujar Abul Kalam.

Organisasi Burma Human Rights Network (BHRN) meminta PBB, Uni Eropa, dan ASEAN menetapkan syarat-syarat bagi proses repatriasi pengungsi Rohingya. Satu di antaranya adalah status kewarganegaraan.

“Langkah-langkah ini harus mencakup status kewarganegaraan bagi Rohingya, sebuah mekanisme yang berfungsi untuk memastikan keselamatan mereka yang kembali, pertanggungjawaban para tokoh militer yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, dan sebuah rencana konkret untuk mengembalikan Rohingya ke desa asal mereka, serta properti mereka dipulihkan atau diganti sepenuhnya jika dihancurkan militer,” kata BHRN dalam sebuah pernyataan pada Selasa (20/8), dikutip laman Anadolu Agency.

BHRN mengatakan, perjanjian repatriasi pernah direncanakan sebelumnya. Namun, hal itu menuai perlawanan dan penentangan dari penduduk Rohingya. Pasalnya, mereka menilai kondisi di Rakhine belum sepenuhnya aman.

Di sisi lain, Myanmar juga masih enggan menjamin status kewarganegaraan Rohingya. Presiden Rakhine Solidarity Organization (RSO) Mohammad Ayyub mengatakan, sejauh ini belum ada pemulangan pengungsi Rohingya. Menurut dia, para pemimpin pengungsi Rohingya belum ada yang diajak berkonsultasi dan tidak mengetahui mengenai proses tersebut.

Dia mendesak agar hak asasi manusia dan sipil Rohingya dipulihkan sebelum repatriasi dilakukan. “Myanmar harus segera menghentikan kekerasan dan pembersihan etnis di Negara Bagian Rakhine segera dan secara permanen memulai proses repatriasi,” kata Ayyub.

Pekan lalu Myanmar menyatakan telah mencapai kesepakatan dengan Bangladesh untuk memulai proses repatriasi pengungsi Rohingya pada Kamis (22/8). Mereka pun telah meminta bantuan UNHCR.

Juru bicara Pemerintah Myanmar, Zaw Htay, telah membuat daftar 3.450 pengungsi Rohingya dari jumlah total 22 ribu pengungsi yang akan dipulangkan. Zaw Htay mengatakan, para pejabat telah memeriksa daftar itu untuk menentukan apakah para pengungsi itu tinggal di Myanmar dan apakah mereka terlibat dalam serangan terhadap militer. n kamran dikarma, ed:yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement